Font Re-Size
oleh Bratayana Ongkowijaya
Bagi ukuran keluarga seorang “Pejabat”, rumah di sudut jalan ini nampak sederhana, biasa-biasa saja, sama seperti tetangganya tidak kelihatan menyolok, lebih jauh, kalau kita tinjau isi rumah tersebut akan mempertegas kesan sederhana tadi, sofa meja, almari, televisi, kulkas, kamar tidur, dapur, pendek kata semua perlengkapan dan peralatan yang ada menunjukkan ‘standard’ keluarga kebanykan.
Suatu hari minggu, pagi, seperti biasa sepulang lari pagi, olah raga yang lagi-lagi bernilai ‘standard’, pak ‘pejabat’ duduk santai, menikmati teh panas dan jajan pasar dengan ditemani istrinya. “Pak…., saya ingin menyampaikan uneg-uneg yang selama ini begitu mengganjal dalam pikiran.”, kata istrinya membuka percakapan pagi itu sambil sedikit merajuk. “Ehm…katakanlah, mungkin kita bisa carikan jalan pemecahannya…”jawab sang suami dengan tenang. “Begini pak…, saya merasa sangat malu mendengar omongan orang-orang dan juga komentar kolega, maupun teman sejawat bapak di kantor selama ini.” Jelas istrinya. “Lho…apa yang mereka katakan, sehingga membuatmu demikian…?” suaminya balik bertanya. “Orang-orang menganggap, bahwa bapak adalah ‘pejabat yang tolol’, karena sudah sekian tahun menjadi ‘pejabat’ yang cukup tinggi kedudukannya, tetapi tidak punya apapun…!” Dibandingkan dengan ‘pejabat’ lain, termasuk juga ‘pejabat’ yang bapak gantikan, belum berapa tahun mereka menjabat –entah dengan cara apa dan bagaimana, tetapi yang jelas mereka sudah ‘bisa’ membeli rumah mewah, mobil mewah serta barang mewah lainnya bahkan lebih dari satu” timpal istrinya.
Demi mendengar keluhan istrinya itu, sang suami terhenyak; mengapa demikian ‘parah’ prilaku ‘mereka’ sehingga mempunyai pikiran se’kotor’ itu? Apakah memang sudah sedemikian jauh ‘kemerosotan moral mereka? Sehingga ‘ke-pejabat-an’ selalu dikaitkan dengan ‘jalan’ untuk menimbun kekayaan? Dengan menghela nafas sang suami memberikan pengertian kepada istrinya; “Orang bisa atau boleh tidak tahu akan sesuatu karena keterbatasannya, tetapi paling tidak dia harus tahu dua hal-‘tahu diri’ dan ‘tahu malu’, karena hanya dengan dua hal itulah yang bisa menghindarkan ‘bencana’ kehidupan…”
Ilustrasi di atas menggambarkan fenomena kehidupan yang salah diidamkan oleh banyak orang dan sering kita jumpai di kehidupan sekeliling kita. Semuanya itu dilakukan dengan tanpa merasa bersalah, bahkan kalau tidak begitu (korupsi), itu yang bodoh dan salah, artinya bisa memanfaatkan kesempatan atau lebih populer dengan istilah ‘aji mumpung’.
Korupsi-Kolusi-Nepotisme
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menurut kamus dijelaskan sebagai berikut: Corrupt (latin; Corruptus): to destory, spoil, bribe. Merusak (tatanan moral), memanjakan (berkonotasi negative / merusak), menyuap (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan)
Collusion (latin, collusion): a secret agreement for fraudulent or illegal purpose (persekutuan terselubung untuk berbuat curang dengan tujuan yang ada pada galibnya melawan hukum / a-moral).
Nepotism (France: Nepotisme-Italian: Nepotismo); Nepote=Nephew=keponakan favoritism shown to nephew/relatives especially in appointment to desirable position (kecenderungan / keberpihakan ke sanak famili/kerabat, terutama untuk mengisi posisi yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya) bahkan disebutkan :
“Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely” kekuasaan / kewenangan memberi peluang untuk melakukan korupsi, kekuasaan / kewenangan mutlak lebih berpotensi untuk berbuat korupsi.
Korupsi terjadi antara lain disebabkan oleh:
- Memiliki kekuasaan / kewenangan
- Adanya peluang / kesempatan
- Mental bobrok pelaku (niat)
- Lemahnya supremasi hukum
- Tidak ada / lemahnya pengawasan (secara struktural)
- Kurang berperannya sanksi masyarakat (sosial kontrol)
Jenis-jenis Korupsi antara lain:
- Minta / menerima komisi (menjadikan bengkaknya nilai transaksi)
- Mark up / rekayasa biaya
- Mengurangi penghasilan / penjualan / pendapatan (menggelapkan / penggelapan)
- Merugikan negara (dalam hal penerimaan pajak)
- Memalsukan faktur / kwitansi (rekayasa pembukuan)
Dari pembahasan di atas, kiranya dapat diketahui pokok permasalahannya atau apa yang menjadi akar dari perbuatan Korupsi – Kolusi – Nepotisme (KKN).
Pembahasan
Agama pada dasarnya merupakan bimbingan, tuntunan hidup untuk umat manusia yang bersifat pribadi, agar dapat sesuai dengan yang difirmankan-Nya, hidup dalam jalan-Nya. Pada kenyataannya, manusia hidup berinteraksi dengan manusia lainnya, inilah yang disebut dengan fungsi sosial (bermasyarakat). Oleh karenanya diperlukan suatu komitmen ‘aturan-main’ yang dapat ‘mengatur’ dan ‘diterima’ semua pihak, inilah yang dikenal dengan sebutan akan ‘tatanan hubungan’; dan pada hakikatnya agama juga merupakan sosio-political, program bagi umatnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (kepemerintahan).
Bagi Ru Jiao (Agama Khonghucu) yang mengajarkan ‘Zhong Yu Tian-Shu Yu Ren’ (Satya kepada Tian dan bertepaselira terhadap sesama), mendidik umatnya agar secara pribadi memiliki ‘karakter bermoral’ yang berlanjut sebagai bagian ‘tatanan-moral’ dalam kehidupan bermasyarakat dan ujung-ujungnya merupakan ‘sosio political’, program untuk mewujudkan ‘kepemerintahan’ baik dari sisi ssstem maupun manusianya yang berlandaskan ‘moral’!
Zi Lu bertanya: “Kalau Pangeran Wei mengangkat guru dalam pemerintahannya, apakah yang akan lebih dahulu?”
Nabi Kongzi bersabda:”Akan kubenarkan lebih dahulu nama-nama”
Meluruskan (membenarkan) nama (Zheng Ming), berarti :
- Predikat dan realitas harus tepat (konsekwen pada prediksinya)
- Kata dan perbuatan harus sesuai (konsisten dalam menanggapi)
- Hak dan kewajiban dalam predikat antar hubungan, proposional, inilah ‘Tatanan yang lurus’!
Kata kunci dalam ‘Tatanan yang lurus’ adalah Li, dalam arti lugas adalah ‘Tidak Sekedar’ (Bu Zhi – not only)! Pada wujud keseharian, Li melahirkan tatanan yang mengatur manusia sesuai predikasinya, serta aturan yang menata manusia di dalam antar hubungan (yang dikenal dengan sebutan alat dan hukum yang merupakan tatanan dalam aturan serta etika dimana moral menjadi kunci yang sangat mendasar). Diatur dengan kebajikan (De) dan dilengkapi dengan kesusilaan etika moral (Li), menjadikan rakyat tumbuh perasaan harga diri dan berusaha hidup benar, ini akan menumbuhkan rasa :
- Integrity (ketulusan hati, kejujuran), dalam menjalani prediksinya.
- Guilty (rasa bersalah), tahu malu kalau tidak sesuai dengan prediksinya
- Dignity (martabat), harga diri dalam menjunjung martabat predisinya
Junzi senantiasa ingat akan kebajikan, sedang Xiao Ren hanya ingat kenikmatan. Junzi berbuat dengan berlandaskan hukum, akan hasilnya berserah kepada Firman.
Ini menunjukan karakter manusia secara mendasar yang membedakan satu sama lain, bagi manusia yang mau sadar, pasti akan berfikir bahwa ‘Akhlak yang penuh dengan kebajikan itulah yang pokok, jika secara wajar kemudian masyarakat mempercayai orang yang berakhlak bajik dan mulia serta mendukungnya memiliki kecukupan harta kekayaan yang juga harus dalam kewajaran pula. Itu merupakan ujung hasil, akibat dukungan akibat karakter yang mulia tadi’.
Tapi yang tak mau sadar akan pokok kehidupan itu, maka ia akan mudah terjebak dan terseret arus ketamakan dan bukan mustahil menyebabkannya lupa kebajikan, lupa diri pada gilirannya tak tahu diri dan tak tahu malu.
Nabi Kongzi bersabda : Kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan tiap orang. Tetapi bila tidak dapat dicapai dengan jalan suci janganlah ditempati. Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian tiap orang, tetapi bila tidak dapat disingkiri dengan Jalan suci, janganlah ditinggalkan.
Seorang beriman Junzi bedanya dengan si rendah hati (Xiao Ren) ialah tentang apa yang dijadikan prinsip, junzi ingat akan kebajikan berlandas hukum. Xiao Ren sebaliknya…!
Maka dikatakan :
Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung
Melihat keuntungan ingat kebenaran
Orang yang tidak boleh, tidak tahu malu. Malu bila tidak tahu malu, menjadikan orang tidak menanggung malu.
Penutup
Berbicara soal berbangsa dan bernegara, tidak akan lepas dari aspek tanah air, rakyat dan pemerintah. Bagaimana sepatutnya menjadi rakyat dan bagaimana menjadi pemimpin yang layak, inilah permasalahan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan ajaran agama yang mendidik. Membimbing menuntun umatnya menjadi individu Junzi, serta mengatur tatanan hubungan antar prediksi berdasarkan kebajikan, maka sosio-political dalam berbangsa dan bernegara tentu dapat berjalan dengan semestinya. Mengzi berkata: “seorang pemimpin negara itu harus memandang tiga hal sebagai mustikanya, tanah air, rakyat dan pemerintah. Kalau ia hanya memandang permata dan batu kumala saja sebagai mustikanya, bahaya, niscaya menimpa dirinya.
Upaya-upaya untuk menghilangkan atau mengurangi tindak korupsi diantaranya :
- Pendidikan agama yang lebih baik atau kena sasaran.
- Menggalakan pendidikan budi pekerti agar anggota masyarakat tahu mana yang baik dan buruk serta sadar untuk melaksanakan perbuatan yang baik saja (terutama taat hukum).
- Menghapus semua undang-undang dan peraturan yang memberi peluang timbulnya korupsi.
- Merubah sistem dan tata kerja pelayanan public (kependudukan dan perpajakan) dengan menghilangkan prosedur yang mempersulit masyarakat.
Mudah-mudahan Tian berkenan untuk segala upaya yang positif ini. Tian memberkati kebajikan, Shanzai.
Please write a comment after you read this article. Thx..!!
2 comments:
SUNGGUH SUATU CERITA YG BISA MEMBERIKAN SOLUSI BUAT BANGSA INI YG SEDANG DILANDA "DEMAM KORUPSI AKUT." SEMOGA BISA MEMBANTU MEMBUKA MATA "PEJABAT" LEBAR2 SELEBAR - LEBARNYA.
@Anonymous : Thx commentnya.. Tapi klo bisa pilihnya "Comment as Name/URL" klo gak punya URL cukup diisi nama aja biar lebih mengenal.. ^^
Post a Comment