Sunday, October 31, 2010

Kisah Tiga Budak Hitam


share on facebook
Tiga orang budak hitam berjalan-jalan di atas pasir di persisiran sebuah pantai. Tiba-tiba seorang dari mereka terantuk sebuah botol. Dia pun mengambil botol tersebut. Botol tersebut tertutup rapat dengan penutup gabus. Mereka semua keheranan dan tertanya-tanya apa yang ada di dalam botol tersebut. Lalu salah seorang dari mereka pun membukanya. Setelah botol tersebut terbuka, keluarlah jin yang amat besar.

Jin tersebut ketawa-terbahak-bahak lalu berkata ” Siapakah engkau hai manusia yang telah membebaskan aku? Aku telah terkurung dalam botol ini selama 100 tahun. Dalam masa terkurung aku telah bersumpah akan memberikan 3 permintaan bagi siapa yang telah membebaskan aku dari botol ini.. Nah! Sekarang kamu semua mintalah sesuatu, akan aku tunaikan permintaanmu”


Ketiga budak hitam itu mulanya terkejut tetapi bergembira karena jin tersebut berjanji untuk menunaikan permintaan mereka.

Jin pun berkata kepada budak yang pertama, ” Mintalah!” 

Budak hitam pertama pun berkata . “Tukarkanlah aku menjadi putih supaya aku kelihatan lebih gagah”

Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih.

Jin pun berkata kepada budak hitam kedua,”Mintalah!”.

Budak hitam kedua pun berkata .” Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan gagah, lebih putih dan gagah daripada budak yang pertama”. Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih dan gagah lebih dari pada budak yang pertama.

Jin pun berkata kepada budak hitam ketiga, “Mintalah!”. Budak hitam ketiga pun berkata .”Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan gagah, lebih putih dan gagah daripada budak yang pertama dan kedua”. 

Jin pun berkata. ” Tidak, permintaan itu tidak dapat aku perkenankan. Mintalah yang lain…” Budak hitam ketiga keheranan dan terfikir-fikir apa yang mau dimintanya. 

Setelah lama berfikir, budak hitam ketiga pun berkata ” Kalau begitu, aku minta kau hitamkan kembali rekan aku yang dua orang itu” Lalu jin pun tunaikan permintaannya. Kembalilah asal hitam kedua-duanya. Jin pun berlalu dari situ dan ketiga budak tersebut tercengang-cengang dan tidak memperolehi sesuatu apa pun.

Moral:
Sikap dengki, cemburu dan iri hati seringkali bersarang di hati manusia. Manusia tidak suka melihat orang lain lebih dari mereka dan mengharapkan mereka lebih dari orang lain. Mereka juga suka melihat nikmat orang lain hilang. Sikap ini sebenarnya pada akhirnya merugikan manusia sendiri.



Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Kisah Tiga Budak Hitam

Gubernur Banten Peringati Hari Lahir Nabi Kongzi 2561 di Setos


share on facebook
Peringataan hari lahir nabi Kongzi se Banten yang ke-2.561 dirayakan di Serpong Town Square, Kota Tangerang pada Sabtu (30/10/2010). Hari besar yang dirayakan oleh umat khonghucu itu dihadiri 2.542 warga. Dalam acara tersebut Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang diundang hadir dan ikut merayakannya.

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Seluruh Indonesia (Matakin) Banten, Budi Santoso Hanu Wibowo mengatakan, kelahiran Nabi Kongzi dikenal di Indonesia adalah sebagai nabi Khonghucu. Untuk pertama kalinya, umat Khonghucu berhasil membuat peringatakan dengan skala Provinsi. “Ini merupakan wujud kerjasama harmoni antara pihak pemerintah dengan umat beragama,” katanya. 


Sementara itu, Atut menyambut baik acara peringatan ini. Gubernur juga mengatakan, mari bersama-sama kita wujudkan kedamaian. Jadikan Provinsi Banten keberagaman agama yang damai, termasuk dengan umat Khonghucu. “Kita harus bersama-sama mewujudkan keamanan dan kenyamanan,” katanya.

Diakhir acara, Atut bertanya kepada masyarakat Khonghucu ini. “Apakah kita masih ingin bersama-sama?”. Acara tersebut juga dihadiri mantan Ketua DPRD Kota Tangerang Krisna Gunata 



sumber : TangerangNews

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Gubernur Banten Peringati Hari Lahir Nabi Kongzi 2561 di Setos

Saturday, October 30, 2010

Kisah Ma Li dan Zhai Xiao Wei (Must Read)


share on facebook
- Ma Li -

Ma Li adalah seorang balerina profesional, yang sudah membangun karirnya sejak masa kanak-kanak. Ia berasal dari Provinsi Henan, China. Sayangnya, ketika berusia 19 tahun (tahun 1996), ia mengalami kecelakaan mobil. Akibatnya, lengan kanannya harus diamputasi.
Kemudian, kekasihnya pergi meninggalkannya.

Betapa bingung dan kecewanya Ma Li! Ia sempat mengurung diri di rumahnya selama berbulan-bulan. Namun, dukungan orangtua menguatkannya. Perlahan tapi pasti, ia melanjutkan hidupnya. Ia segera belajar melakukan mengurus diri dan rumahnya dengan satu lengan. Beberapa bulan kemudian, dia sudah membuka usaha, dengan mendirikan satu buah toko buku kecil. 


Pada tahun 2001, Ma Li kembali ke dunia tari yang dicintainya. Ini hal yang sulit, karena dengan hanya satu lengan, ia kurang bisa menjaga keseimbangan tubuhnya - khususnya ketika melakukan gerakan berputar. Namun Ma Li tidak putus asa. Ia terus berusaha, hingga akhirnya ia bisa menyabet medali emas pada kompetisi tari khusus untuk orang-orang yang memiliki kekurangan pada fisiknya. Menurut Ma Li, di kompetisi itu, selain mendapatkan prestasi, ia juga mendapatkan dukungan dari orang-orang yang senasib dengannya. Dari situlah, ia mendapatkan dorongan motivasi dan rasa percaya diri yang lebih besar.




Pada 2002, seorang laki-laki bernama Tao Li jatuh cinta pada Ma Li. Tapi Ma Li meninggalkannya karena khawatir kejadian masa lalu yang menyakitkan terulang kembali.

Tao Li bukan pemuda yang mudah putus asa. Ia mencari Ma Li hingga ke Beijing, tempatnya meniti karir sebagai penari. Ketika bertemu kembali, pasangan ini tidak terpisahkan lagi.

Ma Li dan Tao Li sempat jatuh bangkrut saat virus SARS menyerang China (November 2002 hingga Juli 2003). Sebab, pada masa itu, semua gedung teater/seni ditutup! Namun mereka tetap berjuang dan bangkit kembali. 

Setelah serangan virus SARS mereda, Tao Li mendapat izin resmi untuk menjadi agen Ma Li. Sambil berusaha mengembangkan diri dan usaha, kedua insan ini kerja sambilan sebagai pemeran figuran di berbagai lokasi syuting drama. Nah, pada suatu malam bersalju, keduanya pulang larut malam dan harus menghabiskan banyak waktu, untuk menunggu bus yang datang pada pagi hari. Agar tidak terlalu kedinginan, keduanya menari. Pada saat inilah, Tao Li mendapatkan ide untuk menciptakan tarian yang indah dan unik, tarian yang khas Ma Li. Ma Li setuju, dan mulai saat itu mereka mencari seorang penari pria (untuk menjadi pasangan menari Ma li) dan koreografer…

-Zhai Xiao Wei-

Pada umur 4 tahun, Zhai Xiao Wei sedang asyik bermain. Ia lalu mencoba memanjat sebuah traktor, lalu… terjatuh. Karena cedera berat, kaki kirinya harus diamputasi.

Beberapa saat sebelum diamputasi , ayah Xiao Wei kecil bertanya pada putranya: “Apakah kamu takut?”

“Tidak,” jawab Xiao Wei. Ia kurang memahami arti amputasi.

“Kamu akan banyak mengalami tantangan dan kesulitan,” kata sang ayah.

“Apakah itu tantangan dan kesulitan? Apakah rasanya enak?” tanya Xiao Wei.

Ayahnya mulai menangis. “Ya, rasanya seperti permen kesukaanmu,” katanya. “Kamu hanya perlu memakannya satu persatu.” Setelah itu, sang ayah berlari keluar ruangan.

Berkat dukungan orangtua dan lingkungannya, Xiao Wei tumbuh menjadi anak yang sangat optimis, periang, dan bersemangat. Kemudian, ia menjadi seorang atlet. Xiao Wei aktif di cabang olahraga lompat tinggi, lompat jauh, renang, menyelam, dan balap sepeda.

-Pertemuan Ma Li dan Zhai Xiao Wei-

Pertemuan itu terjadi pada bulan September 2005. Saat itu, Xiao Wei (21 tahun) sedang berlatih agar bisa tampil di kejuaraan balap sepeda nasional. Ma Li melihatnya dan merasa dialah partner menari yang cocok untuknya.

Ma Li berlari ke arah Xia Wei dan mengajukan berbagai pertanyaan.

“Apakah kamu suka menari?” Itulah pertanyaan pertama Ma Li.

Xiao Wei terkejut sekali. Bagaimana mungkin dia, yang hanya punya satu kaki, melakukan kegiatan seperti menari? Selain itu, Xiao Wei mengira bahwa Ma Li adalah perempuan bertubuh normal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat saat itu Ma Li mengenakan lengan palsu dan pakaian khusus untuk menutupi cacat tubuhnya.

“Siapa namu kamu? Berapa nomor telepon kamu? Tinggal di mana?” begitulah selanjutnya pertanyaan-pertanyaan Ma Li. Xiao Wei diam saja - tidak menjawab sepatah kata pun. Maka, Ma Li memberikan selembar tiket pertunjukan tari kepada pria itu. Tawaran itu diterima.

Dua hari kemudian, Xiao Wei berdiri terpesona di gedung pertunjukan tari. Ia terkesan sekali dengan tarian yang dipersembahkan Ma Li. Akhirnya, ia setuju untuk menari balet bersama. Untuk itu, ia rela pindah ke Beijing untuk berlatih bersama Ma Li.

Selanjutnya, mereka latihan tiap hari, dari jam 8 pagi hingga 11 malam. Mulai dari melatih mimik wajah di depan cermin hingga gerakan-gerakan tari. Keduanya harus melalui masa-masa sulit, karena sebelumnya Xiao Wei tidak pernah menari. Sementara Ma Li sendiri, adalah seorang penari yang perfeksionis. Tahukah Anda, untuk mendapatkan gerakan “jatuh” yang tepat, Ma Li sampai rela dijatuhkan lebih dari 1.000 kali!


Pada hari pertama berlatih “jatuh”, gerakan benar yang pertama baru bisa dilakukan pada pukul 8 malam…




Apa yang terjadi berikutnya, Anda tentu sudah mengetahuinya! Pada April 2007, mereka menyabet medali perak pada lomba tari “4th CCTV National Dance Competition” (saksikan videonya di sini). Pasangan Ma Li/ Zhai Xiao Wei menjadi terkenal. Tarian “Hand in Hand” menjadi inspirasi bagi banyak orang. Apabila mau belajar dan berusaha mengatasi kekurangan yang ada pada diri kita, dan dengan tekun mengembangkan potensi diri, kita semua pasti mampu menjadi pemenang yang sesungguhnya! 




sumber : disini

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Kisah Ma Li dan Zhai Xiao Wei (Must Read)

Dipercaya Orang adalah Sebuah Kebahagiaan


share on facebook
Sebuah kapal barang berlayar di Samudra Atlantik. Di buritan kapal ada seorang anak kecil negro, dia adalah seorang pesuruh.

Suatu ketika anak ini tidak berhati-hati sehingga tercebur ke dalam Lautan Atlantik yang bergulung-gulung ombaknya. Anak ini berteriak minta tolong, apa daya ombaknya sangat besar dan angin sangat kencang, orang yang berada di atas kapal tidak ada yang mendengarnya. Dengan mata terbelalak dia melihat kapal barang tersebut membawa ombak bergerak makin lama makin menjauh.


Naluri bertahan hidup anak ini membuat dirinya berenang sekuat tenaga di dalam air yang sangat dingin. Dia mengerahkan segenap tenaganya untuk mengayuh kedua lengan kurusnya, berusaha keras agar kepalanya tetap berada di atas permukaan air, membuka matanya yang besar memandang ke arah kapal yang pergi semakin menjauh. Kapal itu makin lama ma-kin jauh, makin lama makin kecil, akhirnya tidak terlihat lagi, sisanya sejauh mata memandang hanya lautan yang tak bertepi.

Tenaga anak ini hampir habis, sesungguhnya ia sudah tidak mampu berenang lagi, dia merasakan dirinya serasa akan tenggelam.

Lepaskanlah, hatinya berbisik pada dirinya sendiri. Saat itulah, di dalam benaknya terbayang akan wajah yang begitu welas asih dan pandangan mata yang ramah dari sang kapten tua kapal itu.

“Tidak, kapten kapal setelah mengetahui saya tercebur ke laut, pasti akan kembali untuk menolong saya!” Berpikir demikian, anak ini berusaha dengan seluruh keberaniannya menge-rahkan segenap tenaganya yang tersisa untuk berenang lagi.

Akhirnya kapten kapal menyadari bahwa anak negro itu telah hilang, setelah dia memastikan bahwa anak itu tercebur ke laut, dia meme-rintahkan agar berlayar kembali untuk mencarinya.

Saat itu seseorang mena-sehatinya, “Sudah sekian lama berlalu. Kalaupun dia tidak mati tenggelam, pasti sudah dimakan oleh ikan hiu…” Kapten kapal agak ragu-ragu, namun akhirnya ia tetap memutuskan untuk kembali mencari anak itu.

Ada orang yang berkata, “Pantaskah tindakan ini hanya demi seorang anak negro?” Sang kapten menghardiknya, “Tutup mulut!”

Di saat-saat terakhir ketika anak kecil itu hampir tenggelam, sang kapten tiba tepat pada waktunya dan anak itu tertolong.

Ketika anak negro tersebut tersadar, dan saat itu dia pun bersujud untuk berterima kasih kepada sang kapten kapal atas budi baiknya telah menyelamatkan nyawanya.

Kapten itu memapah sang anak negro dan bertanya, “Bocah kecil, bagaimana kamu bisa bertahan begitu lama?”

Anak itu menjawab, “Saya tahu Anda pasti akan kembali untuk menolong saya, saya tahu Anda pasti akan datang!”

“Bagaimana kamu tahu saya pasti akan datang untuk menolongmu?” tanya kapten kapal lagi.

“Karena saya tahu Anda adalah orang yang demikian!”, jawab si anak.

Mendengar jawaban tersebut, kapten berambut putih ini menjatuhkan diri di atas kedua lututnya bersujud di hadapan anak negro tersebut, air matanya berderai memenuhi wajahnya.

“Bocah kecil, bukan saya yang menyelamatkanmu, sebaliknya, adalah kamu yang telah menolong saya! Saya sangat malu atas keragu-raguanku saat itu…”

Seseorang yang sangat dipercaya oleh orang lain merupakan sebuah kebahagiaan. Pada saat orang lain mengalami keputusasaan, yang dipikirkan olehnya adalah diri Anda, dan yakin akan mendapatkan pertolongan dari Anda, itu adalah sebuah kebahagiaan.



sumber : disini

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Dipercaya Orang adalah Sebuah Kebahagiaan

Friday, October 29, 2010

Kekuatan Kebaikan


share on facebook
Kebaikan adalah sifat hati yang alami yang dianugerahkan kepada manusia oleh langit, dan ia merupakan negara paling indah dalam esensi kehidupan manusia. Maka hal yang paling penting untuk seorang manusia adalah untuk mengembangkan kebaikan dan meningkatkan moralitasnya. Seorang manusia yang baik senang membaca buku yang baik dan melakukan perbuatan baik sehingga menjadi teladan bagi masyarakat umum untuk melakukan hal yang sama, hidup dengan damai sejahtera berdasarkan pada prinsip langit yang lurus. Contoh tokoh-tokoh di masa lalu yang melakukan kebaikan tak terhitung banyaknya. Ini adalah beberapa diantaranya:


Pada musim semi dan musim gugur (770B.C-476 B.C), ketika Zi Lu dari Negara Lu pergi bertemu Confucius untuk pertama kalinya, ia mengenakan sebuah bulu di kepalanya dengan angkuh. Tetapi setelah Confusius mengatakan kepadanya mengenai kebaikan dari sifat rendah hati, ia tersentuh dan bersedia mengubah penampilannya, mengenakan pakaian pelajar sederhana dan mulai belajar etika dari Confucius. Saat mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang manusia dan seorang pejabat, Confucius berkata,”Kesetiaan adalah paling penting untuk menjadi manusia. Seorang manusia yang memiliki keberanian tapi tanpa adanya kesetiaan akan menjadi kacau. Bagi orang picik, keberanian tanpa adanya kesetiaan adalah pencuri.


Seorang pejabat harus memberikan contoh yang baik untuk yang lainnya, ia tidak boleh kendur dalam bekerja keras dan memperhatikan orang-orang.” Zi Lu mengikuti Confucius melakukan perjalanan keliling Negara mengembangkan etika, dan perlahan kebijaksanaannya bertambah besar. Ia setia kepada gurunya dan mengabdikan hidupnya kepada negara. Zi Lu berbesar hati untuk belajar tentang kekeliruan-kekeliruannya dan tidak pernah ragu untuk memperbaikinya dan menyebutnya sebagai sebuah kemajuan,”’ Confusius memuji dia kemudian Zi Lu menjadi seorang pejabat penting di wilayah Puyi. Tiga tahun setelah ia mulai memimpin daerah dengan etika dan musik, Puyi berubah menjadi sebuah lahan yang makmur dan tenang dan orang-orang saling hormat satu sama lainnya. Confusius menghubungkan kesuksesan ini dengan kebaikan sifat muridnya itu.


Wu Qianjin dari Shanyou pada masa kaisar Dinasti Ming memerintah (1368-1644) adalah seorang manusia yang agresif dan berotot. Sebagai seorang master beladiri, ia cenderung untuk mengunakan pukulan-pukulan cepatnya melawan siapa pun yang merintangi keinginannya. Ia merebut harta atau uang orang lain sesuka hati, dan semua orang takut pada dia. Suatu hari yang panas, ia naik ke teras untuk mencari kesejukan. Orang-orang semua menjadi takut ketika melihat dia muncul, dan perlahan menyingkir. Tetapi seorang laki-laki tua diam tidak takut. Wu Qianjin berkata seolah-olah ia adalah penguasa,”Setiap orang telah pergi, hanya anda yang masih disini, anda negara saya bukan master beladiri yang hebat ya?” Kakek tua itu menjawab: “Anda salah mengira,” ”Orang tua anda membesarkan anda, berharap agar anda menjadi berguna bagi bangsa anda.

Anda adalah seorang master beladiri, namun anda tidak pernah berpikir tentang bagaimana caranya mengabdi untuk negara; malah menjadi sampah masyarakat. Negeri ini kehilangan satu orang berbakat. “Sayang sekali! Sayang sekali!” mendengar kata-kata laki-laki tua itu, Wu Qianjin berkata dengan air mata penuh penyesalan,”setiap orang di sekitar saya berkata bahwa saya orang jahat, maka saya berpikir bahwa saya memang orang jahat.

Kata-kata anda hari ini seperti suara lonceng nyaring di pagi hari, membangunkan saya dari tidur. Tetapi sekarang saya adalah orang yang telah berbuat jahat begitu lama, saya bimbang apakah saya bisa menjadi manusia yang baik; menjadi seorang manusia yang benar-benar baik seperti yang saya inginkan. Kelihatannya seperti bulan sabit sulit ingin menjadi bulan purnama.” Laki-laki tua berkata,” jika anda bersungguh-sungguh mau merubah jalan hidup anda dan mulai mengkultivasikan diri anda dan menjadi orang yang baik, saya tidak melihat mengapa anda tidak bisa.


Sejak saat itu Wu Qianjin berubah dan mulai bekerja untuk negerinya, masuk ke militer. Kemudian ia menjadi wakil kepala keamanan dari bala tentara dan sangat dihormati dan dipuji kepemimpinannya dan belas kasihnya pada orang-orang. Confucius mengatakan,” manusia tidak luput dari salah, tetapi bisa membetulkan kesalahan adalah sebuah kebaikan yang besar.”

Menyebarkan kebaikan mengilhami orang-orang untuk merefleksi arti kehidupan manusia tentang bagaimana caranya menunjukan kasih sayang kepada orang lain dan menghindari pengejaran kepentingan pribadi dan kesenangan-kesenangan. Kekuatan kebaikan adalah luar biasa, karena hadir dimana-mana dan mampu mengubah lubuk hati setiap orang. Ia akan dapat memandu orang-orang melakukan kebenaran, mereka kembali pada suara hati mereka, memecahkan segala sesuatu yang tidak lurus



sumber : message from GEMAKU(FB)




Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Kekuatan Kebaikan

Refleksi Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia


share on facebook
Oleh : Rio Bembo Setiawan

Eksistensi Konghucu di Indonesia ditenggelamkan selama 32 tahun. Tapi di era reformasi eksitensi itu dapat muncul lagi ke permukaan.

Sabtu, 27 Januari 1979 bak hari kelam bagi umat Konghucu. Sebuah kabar buruk muncul pada sidang kabinet yang berlangsung hari itu; Konghucu bukan agama. Siar ini, diterima atau tidak ketika itu, telah menempatkan status Konghucu di Indonesia ke posisi abu-abu. Tak jelas. Padahal secara de jure, saat itu masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan menyangkut nasib Konghucu.



Peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1969 mengakui ada enam agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU ini mengatur sama persis dengan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Kedua peraturan ini semakin dikuatkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyaratkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Tapi, tiba-tiba saja muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Padahal, saat SE ini diterbitkan, UU Nomor 5 Tahun 1969 dan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun1965 belum dicabut.



"Perjalanan kelam tentang keberadaan Konghucu di Indonesia belum banyak diketahui generasi sekarang. Tapi waktu juga yang akhirnya berbicara untuk meluruskan lagi kenyataan yang ada," terang Ketua Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Candra Setiawan.

Ironisnya lagi, 12 tahun kemudian pemerintah melalui Mendagri kembali menerbitkan surat serupa bernomor 77/2535/POUD, tanggal 25 Juli 1990. Pada 28 November 1995, keluar juga Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa hanya lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.

Namun menariknya, seperti dikatakan Sekretaris Umum Matakin, Uung Sendana, meski peraturan itu merupakan bentuk persekusi atau penindasan terhadap umat Konghucu, Matakin sama sekali tak dibubarkan oleh pemerintah. "Matakin berhasil bertahan hidup sepanjang 32 tahun kekuasaan Soeharto. Hanya roda organisasi tersekat seperti pepatah hidup segan mati tak mau," terangnya.

Kisah kelam selama lebih dari tiga dasawarsa ini baru berakhir di masa pemerintahan Abdurrachman Wahid. Di era kekuasaannya yang singkat, Presiden Gus Dur membuat terobosan dengan mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95.

Tindakan ini memberi pesan bahwa, "Tak ada lagi istilah agama yang diakui dan tak diakui pemerintah. Juga tak ada lagi pengakuan negara terhadap agama. Umat Konghucu dan orang-orang Tionghoa non-Khonghucu bisa bebas berekspresi. Termasuk Matakin yang langsung berbenah diri memulihkan eksistensinya untuk berdiri sejajar dengan agama lainnya di Indonesia," terang Uung.

Pada Oktober 2007, kebebasan beragama umat Konghucu ini semakin jelas dan tegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Perihal pendidikan agama Konghucu di jalur sekolah formal, nonformal, dan informal diatur pada Pasal 45. Sementara untuk jalur tenaga pendidiknya diatur oleh Pasal 47 PP tersebut.








sumber : Kabar Indonesia 24 Januari 2008




Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Refleksi Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia

Gelas vs Telaga


share on facebook
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkanya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?”, ujar Pak tua itu. “Asin, asin sekali,” jawab sang tamu, sambil meludah ke samping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya.

Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke alam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang dengan mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.” Saat tamu itu selesai

mereguk air, Pak tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”. “Segar”, sahut tamunya. ‘Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?’, tanya Pak tua lagi. ‘Tidak’, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap sama.”

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung semua kepahitan itu.”

Pak tua itu kembali memberikan nasehat. “Hatimu adalah wadah itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”



sumber : disini

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Gelas vs Telaga

Imajinasi yang Kaprah


share on facebook
CERITA ini mengenai peristiwa banjir yang disalah-pahami dalam mengatisipasinya. Kisahnya sbb; Diawali hujan lebat yang terus-menerus, tanpa henti selama beberapa hari, ditambah lingkungan alam yang sudah rusak akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab, maka tak pelak air mulai meluap dari sungai dan menggenangi hunian. Sedikit demi sedikit namun pasti, air meninggi menenggelamkan segala yang ada.Diantara bangunan yang ada, sebut saja sebuah “tempat ibadah”, tidak luput dari genangan banjir yang memang tidak pandang bulu. Menghadapi situasi yang demikian, penjaga “tempat ibadah” tersebut melakukan doa agar Tuhan kiranya dapat menyelamatkan “tempat ibadah” serta dirinya yang telah sekian lama ‘mengabdi’.

Waktu terus berjalan dan banjirpun kian meninggi; radio, televisi, memberitakan bahwa ramalan cuaca BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) mengisyaratkan keadaan bisa semakin buruk. Kepala desa, segera memberi perintah pamongnya memukul kentongan sebagai tanda bahaya serta lewat pengeras suara berkeliling mengumumkan agar penduduk segera mengungsi. Mendengar pengumuman agar mengungsi, penjaga “tempat ibadah” itu merasa berat meninggalkan “tempat ibadah” yang selama ini sudah menjadi ‘rumahnya’, maka iapun berdoa kepada Tuhan dengan penuh pengharapan agar hujan dihentikan, banjirpun segera surut. Air sudah meninggi hingga atap rumah, tim SAR (penyelamat) yang diterjunkan bekerja keras mengevakuasi penduduk berlomba dengan meningginya air. Namun penjaga “tempat ibadah” itu tetap bertahan karena dia percaya bahwa Tuhan tentu mendengar doanya dan akan mengabulkan apa yang dia minta, sebagai imbalan pengabdiannya.

Akhirnya, banjir betul-betul menenggelamkan semua yang ada, termasuk penjaga “tempat ibadah” yang tidak mau meninggalkan ‘rumahnya’ itu. Kasihan, dia tenggelam pada “imajinasi”nya, dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan mendengar doanya dan sudah ‘memberitakan’ melalui pemberitaan radio maupun televisi akan bahaya banjir tersebut, bahkan Tim SAR pun sudah ‘diperintahkan’ untuk menyelamatkannya. Namun semuanya tidak ditanggapi bahkan ditolaknya.

Bahaya yang datang oleh ujian Thian, dapat dihindari; Tetapi bahaya yang dibuat sendiri, tidak dapat dihindari.(Bingcu IV A ; 8)

Dengan ceritera di atas, nampak sekali bahwa merasa ‘mempunyai agama’ (having religion), bukan selalu berarti telah memiliki pemahaman yang benar terhadap kebenaran yang diajarkan agama. Dalam beberapa hal memang kita menyalah-artikan, apa yang dipandang sebagai ‘pertolongan Tuhan’ lewat satu dan lain cara. Lebih-lebih, jika terperangkap ‘imajinasi pertolongan Tuhan’ dalam angan-angan kita. Seakan-akan, Tuhan pasti menolong kita dari sesuatu bencana, menurut ‘apa yang kita harapkan’. Disinilah letak kesalahan bahkan kesalahan yang kaprah, seolah-olah Tuhan harus mengikuti keinginan kita bahkan harus menurut perintah kita.
Padahal melalui tanda-tanda alam Tuhan telah mengirim sinyal-sinyal, kita sendirilah yang kadang-kadang tidak dapat memahaminya. Kita perhatikan kejadian akbar baru-baru ini, bencana stunami. Diceriterakan oleh banyak kalangan tidak ada gajah, kelinci ataupun kerbau yang mati oleh gelombang tsunamai kecuali binatang itu terperangkap di dalam kandangnya. Mereka telah dapat membaca tanda-tanda alam sehingga mereka dapat lari menghindari bencana. Inilah yang oleh rasul Bingcu diingatkan, bahwa sesungguhnya ‘kesalahan’ fikiran atau keinginan kita sendirilah yang justru menjerumuskan kita pada bencana. Padahal, sesungguhnya, seorang yang memiliki iman akan Tuhan, harusnya memiliki keyakinan, bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak mungkin kita ‘gambarkan’ seperti ‘imajinasi’ kita.

Sungguh Maha Besar Kebajikan Tuhan Yang Maha Roh (Kwi Sin);

Dilihat tiada tampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia. Adapun kenyataan Tuhan Yang Roh tak boleh diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan (Tiong Yong XV)

Maka hendaknya kita benar-benar tulus mengimani akan Hakekat Tuhan, menjalani apa yang Tuhan inginkan, bukannya mengharapkan Tuhan mengikuti apa yang kita inginkan. Dengan demikian kita mampu mengamalkan kebenaran agama itu secara benar dan menjadi seorang yang beriman dengan benar ( being religious )!**



sumber : Pontianakpost

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Imajinasi yang Kaprah

Thursday, October 28, 2010

Kultur Ibadah Khonghucu


share on facebook
Oleh WS. CH. Budhi S. Pribadi. SP

NEGARA kita Indonesia, yang kaya akan keragaman budaya keagamaan, termasuk agama Khonghucu, mempunyai budaya-ibadah, yang disebut ''Ji'' (baca Ci) meliputi tiga aspek, yang disebut ''San Cai/ Sam Kai''.

(1). Tian/ Thian - Tuhan Maha Pencipta (Supreme Creator) sebagai causa finalis dan prima causa/ akhir tujuan dan awal-mula hal, disebut ''Zhong-Shi/ Tiong Si''. Kepada-Nya umat beriman berkewajiban sujud beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, disebut ''Jing-Tian-Gong/ King Thi Kong.

(2). DI/TI - alam semesta (Universe) ciptaan dari Maha Kuasa Tuhan berwujud Hukum Tuhan Yang Abadi (Tian-Li/ Thian-Lee), setiap umat beriman wajib mensyukuri karunia Tuhan, dengan memuliakan malaikat bumi/ para suci (Shen Ming/Sien-Bing) yang disebut ''Bai-Shen-Ming/ Pai-Sien-Bing atau juga disebut ''Bai-Di-Shen/ Pai-Ti-Sien.


(3). REN/JIEN - kuasa Firman Tuhan (Tian-Ming/ Thian-Bing) menjadikan manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna, dan mewujudkan manusia mendapatkan badan dan lahiriahnya dari kedua orang tuanya, maka tiap insan berkewajiban senantiasa berbakti dan berdoa memuliakan leluhur, disebut ''Zun-Zu/ Cong -Cu''.

Dari pada-Nya, tiga aspek mewujud dalam Tiga Alam (San-Guan/Sam-Kuan) yaitu:

1. Alam Ke-Tuhanan (Tian-Guan/Thian-Kuan)

2. Alam semesta (Di-Guan/Ti-uan)

3. Alam Kemanusiaan (Ren-Guan/Jien-Kuan)


Tiga landasan ibadah dalam ritus kultur agama purba (Ru-Jiao /Ji-Kauw) diatas sudah ada ejak 30 abad sebelum masehi, pada masa Baginda Nabi Purba (Fu-Xi/ Hok-Hi). Pertama menerima Wahyu Tuhan (Tian-Xi/ Thian-Ci) berupa ''Pesta Sungai Huang-He (He/Tu/Ho-Tu)'' merupakan spiritual - Guidance aspek ke-Esaan Tuhan (Monotheistic-Religion) yang bersumber dari kitab Wahyu Yi-Jing/ I-Ching.

Pada zaman perkembangan agama Purba, terdapat 3 (tiga) istilah tempat ibadah, yaitu:

1. JIAO/KAU, tempat ibadah sujud Ke-Hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

2. SHE/SIA, tempat ibadah kepada malaikat bumi.

3. ZU-MIAO/CO-BIO, tempat ibadah berdoa memuliakan leluhur, yang lasim di kenal dengan sebutan ''xiang-Hwee/Hio-Hwe (Altar keluarga)''.


Dan pada masa hidup nabi Kongzi (baca Kong-Ce) tahun 551-479 SM tempat ibadah sudah tidak lagi didasarkan status kebangsawaan, sesuai ajaran nabi Kongzi ''Bahwa dalam keagamaan, tidak ada perbedaan'' dan setelah dua tahun wafat nabi Kongzi, untuk memuliakan beliau, oleh Raja Muda Lui-Ai-Gong di bangun Kong Miao/ Khong-Bio (Klenteng Khonghucu) dan menjelang abad ke XX di jalan Kapasan No. 131 - Surabaya dibangun Klenteng Khonghucu, dengan nama ''Wen-Miao/Bun-Bio''.

- Ciri khas tempat ibadah ''Miao/Bio'' selalu ada altar-utama di paling depan, untuk sujud ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tian Gong Dang/ Thian-Kong-Tang). Dan di belakang ruang induk, terdapat altar-altar para suci (Shen-Ming/ Sie-Bing), pada ritus altar selalu ada Arca-Suci (Jin-Shen/ Kim-Sim), atau berupa papan nama suci (Shen-Zhu/ Sien-Cu) di dalam rumah altar (Shen-Kan/Sien-Kam) berhuruf Tiong-Hoa. Ada ornamen berupa sepasang naga, dan burung phonik, hewan suci killin, kelelawar, kura-kura, dan setiap altar ada tempat penancapan dupa (Ziang-Lu/Hio-Low) dan minimal ada sepasang lilin berwarna merah, serta sarana sesajian kurban, memakai jenis hewan bernyawa, sapi, kambing, babi atau ayam, itik dan ikan yang disebut ''San-Shen/Sam-Sing''.

- Dalam 1 (satu) tahun terdapat 4 (empat) kali ritus utama kepada Tuhan, berdasarkan musim, yaitu:

1. Tanggal 8 malam 9 bulan-1 Imlek/ Yinli disebut ibadah besar Ci/Su.

2. Tanggal 5 bulan - 5 Imlek/Yinli disebut ibadah besar Yue/Yak.

3. Tanggal 15 bulan-8 Imlek/Yinli, disebut ibadah besar Chang/Siang.

4. Tanggal 21/22 bulan-12 Yang Lek/Yang-Li (22 Desember masehi) disebut ibadah besar Cin/Zheng tersurat dalam kitab suci Sanjak/Shi-Jing, bagian perlindungan Tuhan (Tian/Bao/Thian-Po).

Tempat ibadah Miao/Bio'' bagi komunitas setianya memiliki nilai religious wisdom, yang ikut membangun spektrum universal dalam kerukunan hidup budaya leluhur, dengan saling menghormati dan mendukung secara sosio-budaya dalam pola kehidupan sehari-hari melalui kebhinekaan menjalin keharmonisan, membina rasa toleransi, sesuai kutipan ayat suci kitab yang pokok ''Shi-Su/Su-Si'' bagian kitab Sabda-Suci/ Lun-Yu'' di Empat penjuru lautan, semuanya bersaudara/ Si-Hai-Zhi-Nei, Jie/-Ziong-di-Ye''.


Hanya di dalam kebajikan, Tuhan berkenan miliki yang satu, yaitu Kebajikan (Wie de Dong Tian, Xiang/You-Yi-De/ Wie Tik Tong Thian, Sian Yu Le Tik).


Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Kultur Ibadah Khonghucu

Xs. Tjhie Tjay Ing - Pejuang Eksistensi Konghucu


share on facebook
Gerakannya tak terlihat meletup-letup. Perlahan namun pasti. Padahal, Tjhie Tjay Ing tegas menentang rezim Orde Baru yang mem-blacklist agama, kepercayaan dan adat istiadat China termasuk agama Konghuchu di Indonesia.

Haksu Tjay Ing begitu panggilan akrabnya, membakar semangat umat Konghucu dari dalam. Ia terus memimpin kebaktian maupun kajian keagamaan. Tjhie Tjay Ing pun konsisten menerbitkan majalah untuk kalangan internal khonghucu yang berisi tulisan pergumulan pemikirannya dengan sejumlah haksu lainnya sejak tahun 1956.

Intinya, agar iman confusian umat Confusius atau yang dalam agama Konghucu disebut Nabi Khongcu tak goyah walaupun dibelenggu pemerintah. Bahkan lebih dari itu, Tjhie Tjay Ing dengan sabar dan telaten mengenalkan khazanah budaya Konghucu kepada khalayak. Memberikan pemahaman bahwa Konghucu juga layak eksis dan mendapatkan hak yang sama untuk berkembang seperti halnya agama lain di Bumi Pertiwi ini.

Tak berlebihan kiranya jika dengan segala perjuangannya itu, Tjhie Tjay Ing lalu disebut sebagai pejuang eksistensi Konghucu di Indonesia. Aktivitasnya dalam forum-forum sarasehan, diskusi lintas agama maupun budaya juga menjadikannya mendapat julukan tokoh lintas agama dan budayawan. Namun sebenarnya, semangat pendobrak dan kecintaan Tjhie Tjay Ing pada ajaran Nabi Khongcu itu sudah berkecambah sejak belia.

Sejak kecil saya memang sudah bertekad mendalami agama Konghucu, ujar kakek empat cucu yang usianya beranjak 75 tahun ini saat ditemui Espos di ruang kerjanya yang terletak di belakang Tempat Ibadah Agama Konghucu, Litang, Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 atau dulunya kondang disebut Jl Jagalan 15 Solo, awal bulan lalu.

Beragam kitab-kitab setebal kamus bertumpuk di mejanya. Sementara di sebuah lemari kayu yang usang tapi kokoh, puluhan kitab klasik berusia ratusan tahun, berbahasa Hokian yang semua kertasnya telah menguning, tampak memenuhi lemari.

Penggemar wayang

Kecintaannya kepada ajaran Nabi Khongcu seperti halnya ketakjuban pada dunia wayang yang menjadi tontonan paling spektakuler di masa kecilnya. Sampai-sampai karena tak pernah melewatkan pertunjukan wayang baik wayang kulit, krucil maupun Po te hi semalam suntuk, nilai rapor Tjay Ing kecil di bangku Kelas III SD, dua kali merona. Namun menurut Tjay Ing, untuk kali kedua tak naik kelas, ia nekat masuk ke Kelas IV tanpa menggubris teguran gurunya.

Dua kali pukulan dari nilai rapornya yang menyala ternyata ampuh melentingkan semangat belajarnya. Sehingga sampai di bangku SMP, Tjay Ing berhasil menempuh jenjang akademisnya tepat waktu. Lalu setamat SMP tahun 1954, Tjay Ing hijrah melanjutkan sekolah di Sekolah Guru Agama (SGA) Kristen, Solo. Sesuai dengan tekad Tjay Ing kecil, sejak awal masuk SGA itu pula ia aktif mengikuti kebaktian di Litang dan bergabung dengan orang-orang yang berorientasi pada Konghucu dalam perkumpulan Khong Kauw Hwe Solo yang sudah berdiri sejak 1918.

Lalu pada 13 Maret 1955, bersama dengan sejumlah pemuda, Tjay Ing mendirikan Pemoeda Agama Konghoetjoe Indonesia (Pakin). Awal berdiri saya menjadi sekretaris, kenang lelaki yang juga tertarik dengan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Anantatour ini.

Setahun kemudian, berbagai khong kauw hwe di seluruh Indonesia berkumpul dan membentuk Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Lalu setelah berganti-ganti nama, pada 1967 tepatnya, pada musyawarah nasional ke-4 yang berlangsung di Solo, PKCHI diubah namanya menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Nama tersebut masih langgeng sampai sekarang.

Sejak lembaga itu tampil dengan nama Matakin, Tjay Ing didaulat menjadi ketua dewan kerohanian, sampai kini. Meskipun setamat SGA tahun 1957, ia sempat menjadi Bunsu(Wenshi) atau guru agama di SD Tripusaka dan setahun kemudian menjadi kepala sekolah sampai 1960.

Masa pencekalan

Awal berubahnya menjadi Matakin itu jua yang menjadi awal pencekalan terhadap agama Konghucu, yakni dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Pencekalan dari pemerintah terus menghujam bertubi-tubi. Bahkan, pembubuhan agama Konghucu di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tak diperbolehkan. Tak heran, sebagian confucian lantas pindah agama maupun mencantumkan agama lain di KTP mereka demi keamanan. Segala kegiatan umat khonghucu tak mendapat ijin dari pemerintah. Tetapi saya dulu nekat membubuhkan agama Konghucu di KTP dengan diketik sendiri, ujarpenggemar sayur rebung tunas bambu ini.

Kebaktian dan penataran yang dipimpin Tjay Ing baik di Solo maupun berbagai daerah Pulau Jawa juga tetap dijalankan. Bahkan pada tahun 1980-an, Tjay Ing juga melakukan perjalanan spiritualnya sampai ke Hongkong dan Taiwan. Di dewan kerohanian itu pula, dengan gerakan yang halus Tjay Ing tetap menggeber lewat tulisan-tulisan di majalah bulanan internal Konghucu yang dipimpinnya sejak 1956 dengan label Suara Kung Chiao yang terbitan pertamanya disebarkan di Malang. Di tahun 1965, nama terbitan berkala itu berubah nama menjadi Suara Agama Khonghucu. Tak berselang lama, namanya diubah lagi menjadi Majalah Genta Buana dan terakhir menjadi Suara Genta Suci Konfucian (SGSK) sampai kini.

Selain itu juga, Konghucu menurut Tjay Ing juga eksis lewat lewat penerbitan media, seperti kalender dan buku pegangan pelajaran agama Konghucu dari SMP sampai SMA. Tjay Ing masih ingat, di tahun 1975, hanya karena membubuhkan foto sambutan pejabat dalam kalender itu, ia pun sempat mendapat pencekalan. Termasuk karena dianggap mencatut sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Syarif Thayib, dalam kata pengantar buku pegangan pelajaran itu. Buntutnya, Ketua Matakin saat itu, Suryohutomo harus menjalani hukuman penjara selama enam bulan. Pembelaan sama sekali tak digubriskenangnya masygul.

Barulah pada pemerintahan Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, saat Inpres No 14/1967 dicabut, umat Nabi Khongcu dapat bernafas lega. Namun, menurut Tjay Ing akibat tekanan dan larangan yang sudah sekian lama, menjadikan nuansa diskriminasi tetap belum dapat pulih sepenuhnya.

Ia mencontohkan, penggantian agama pada KTP misalnya masih ada yang harus menempuh birokrasi berbelit. Tjay Ing berharap dukungan pemerintah bisa terus mengalir. Demikian pula dengan umat Konghucu sendiri. Sudah seharusnyalah, kata Tjay Ing mencintai dan konsisten terhadap agama maupun organisasi keagamaannya. Tak lupa selalu menebarkan kerukunan dan kedamaian di mana pun berada, tandasnya.

Biodata

Nama : Tjhie Tjay Ing
Tempat, tanggal lahir : Blora, 26 Maret 1935
Alamat : Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 d/h Jagalan 15 Solo

Istri : Tjiong Giok Hwa

Anak : Tjie Sian Hwie (Willy Pramudita Djiwatman), Tjie Sien Gie (Mursid Djiwatman)

Riwayat Pendidikan:

-SD Tionghoa, Blora

-SMP Kristen, Blora

-Sekolah Guru Agama (SGA) Kristen, Solo

Pekerjaan:

-Guru Agama SD Tripusaka 1957-1958

-Kepala Sekolah SD Tripusaka 1958-1960

-Guru Agama SD Tripusaka 1960-1968

-Dosen Agama Khonghucu 1968-2004

Organisasi:

-Ketua Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin)

-Ketua Dewan Kerohanian Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Solo

Penghargaan:

-Penghargaan Walikota Solo pada Imlek 2009 atas konsistensinya dalam
bidang kebudayaan.



Tiada hari tanpa menerjemahkan kitab

Rambut boleh saja telah memutih semua. Derap langkah pun mulai bertatih-tatih. Tetapi semangat berkarya Thjie Tjay Ing terus menggelora tak lekang termakan zaman.

Di antara 10 haksu yang sekarang ada di Indonesia, tiga haksu di Solo, satu di Tegal, empat di Jakarta, satu di Surabaya dan satu di Manado. Tjay Ing terbilang paling produktif. Terutama dalam menerjemahkan kitab-kitab Konghucu berbahasa Hokian maupun bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Baik itu kitab yang terdiri dari Kitab Suci Pokok atau Kitab Suci Empat yang disebut Su Si, maupun kitab suci yang mendasari atau Kitab Suci Lima yang disebut Ngo King. Setiap hari, seayat demi seayat diterjemahkan Tjay Ing, tanpa kenal lelah.

Kitab Su Si yang terdiri dari Kitab Ajaran Besar (Thai Hak), Kitab Tengah Sempurna (Tiong Yong), Kitab Sabda Suci (Lun Gi) dan Kitab Bingcu (Mencuis), semuanya telah rampung diterjemahkan. Sementara untuk Kitab Ngo King yang terdiri dari Kitab Sajak (Si King), Kitab Dokumentasi Sejarah suci (Su King), Kitab Perubahan dan Kejadian Alam Beserta Segala Isinya (Ya King), Kitab Kesusilaan dan Peribadatan (Lee King) serta Kitab Catatan Sejarah Chun Chiu (Chun Chiu King) tinggal satu yang belum diterjemahkan.

Tinggal Chun Chiu King yang belum. Semoga bisa saya selesaikan secepatnya, ujar Tjay Ing sembari menunjukkan Kitab Su si hasil terjemahannya setebal kurang lebih tujuh sentimeter itu.

Pahami makna

Menurut Tjay Ing, menerjemahkan kitab tak sekadar mengubah bahasa dari bahasa asal menjadi bahasa Indonesia saja, melainkan juga memaknai dan menjelaskan agar si pembaca dapat lebih mafhum dalam mencerna dan memahami isinya.

Dalam menerjemahkan kitab-kitab itu, Tjay Ing juga berkomitmen mengedepankan objektivitas. Pasalnya, tak jarang subjektivitas penerjemah pada sejumlah kitab dinilainya masih terasa begitu kental.

Terkait penerjemahan itu pula, lanjut Tjay Ing, yang kadang membuat hatinya risau. Sebab, masih sedikit generasi muda Konghucu yang betul-betul tertarik untuk menguasai bahasa Mandarin maupun Hokian, apalagi sekaligus menerjemahkan. Padahal, tuturnya, dari pemahaman atas kitab-kitab itulah generasi penerus mestinya bisa menginternalisasi ajaran luhur Nabi Kongcu dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Oleh sebab itu, didukung dengan sarana teknologi yang kian maju, sejumlah tulisan pembangkit semangat dari Tjay Ing pun memenuhi website Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Dengan harapan dapat melecutkan gairah para confusian muda.

Rupanya media-media masa kini juga cukup efektif. Lomba kotbah bagi para pemuda Konghucu beberapa waktu lalu cukup disambut dengan antusias, ujarnya sambil tersimpul senyum.

Gurunya para haksu dan sumber agama Konghucu di Indonesia

Di Indonesia, jabatan keagamaan Konghucu ada tiga tingkatan. Tingkat paling bawah adalah kausing(Jiao Sheng) atau penebar agama. Bisa dianalogikan semacam santri dalam Islam.

Lalu tingkat kedua adalah bunsu(Wenshi) atau guru agama. Sementara yang paling atas yakni haksu (Xueshi) atau pendeta.

Menurut Oesman Arif, haksu yang juga dosen pengampu mata kuliah Bahasa Mandarin di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan pengampu mata kuliah Filsafat di UGM ini, Haksu Thjie Tjay Ing lebih dari sekadar haksu. Bisa dibilang, Haksu Thjie Tjay Ing adalah gurunya haksu dan sumber agama Konghucu di Indonesia, ujarnya saat ditemui Espos di rumahnya, Jl Kartika, Ngoresan, Solo, Rabu (3/1).

Menurut Oesman, hal itu terlihat dari totalitas luar biasa pengabdian dan konsistensi Haksu Tjay Ing dalam pengembangan Konghucu. Haksu Tjay Ing juga sepenuh hati menjalankan ajaran Nabi Khongcu itu.

Dengan telaten dan cermat, lanjut Oesman, Haksu Tjay Ing menerjemahkan semua kitab-kitab Konghucu ke bahasa Indonesia. Lalu menjabarkan maknanya agar lebih mudah dipahami sehingga hasil terjemahannya memang mencerminkan apa yang terkandung sebenar-benarnya dalam kitab.

Tak lupa, Haksu Tjay Ing terus produktif menulis artikel baik mengupas soal kitab maupun dihubungkan dengan problematika masa kini. Tanpa kenal menyerah, bahkan kondisi sakit pun tak menjadi penghalang bagi Haksu Tjay Ing untuk menulis, ujar lelaki 56 tahun ini.

Karena itulah, kata Oesman, Haksu Tjay Ing sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama Konghucu di Indonesia. Semua haksu yang ada di Indonesia sekarang, tidak ada yang tidak ngangsu kaweruh kepada Haksu Thjie Tjay Ing.

Itu jua sebabnya, lewat pengabdian-pengabdian masyarakat pun, banyak yang memberikan apresiasi tinggi terhadap Haksu Tjay Ing. Tak hanya dari confusian saja, melainkan juga dari pemeluk berbagai agama. Tak heran Haksu Tjay Ing juga dijuluki tokoh lintas agama, jelasnya.

Si Kutu Buku yang tidak pernah marah

Dalam ingatan Purwani, ada dua hal yang begitu lekat dengan sosok Haksu Thjie Tjay Ing. Pertama kutu buku dan kedua tidak pernah marah, ujar murid Thjie Tjay Ing saat duduk di bangku SD ini.

Kini Purwani adalah seorang bunsu di SD dan SMP Tripusaka. Dia menerima kehadiran Espos awal pekan lalu juga di Tempat Ibadah Agama Konghucu Litang di Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 alias Jl Jagalan 15 Solo yang juga tempat Haksu Tjay Ing tinggal.

Menurut Purwani, Haksu begitu ia biasa memanggil selalu memanfaatkan hampir setiap waktu luangnya untuk membaca, selain juga menerjemahkan buku-buku beraksara dan berbahasa China atau Inggris ke bahasa Indonesia. Sekalipun penglihatannya tak lagi setajam kala muda, tetap saja kegilaannya membaca tak berkurang sedikit pun jua.

Selain itu, kata Purwani, sejak dirinya mengajar di SD dan SMP Tripusaka mulai tahun 1976, ia tak pernah melihat Haksu marah. Meskipun, lanjutnya, jelas-jelas misalnya, sejumlah pengurus di Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Solo membuat kesalahan. Seperti misalnya melalaikan tugas khotbah ataupun tidak datang saat kegiatan-kegiatan tertentu. Haksu menanggapinya dengan biasa saja dan tetap semangat meskipun bekerja sendiri, tuturnya.

Haksu, menurut Purwani juga sosok yang sangat rendah hati. Purwani ingat, sekitar tahun 1977, selain mengampu mata kuliah Agama Konghucu di Universitas Gadjah Mada (UGM), Haksu kadang kala juga mengajar di SMA Tripusaka.

Biasanya, saat mengajar di SMA, Haksu selalu berangkat dengan mengendarai sepeda onthel. Suatu ketika, sepulang mengajar ternyata sepeda onthel-nya raib. Tak banyak mengeluh, Haksu pun berjalan kaki dari sekolah sampai ke rumah.

Sesampai di rumah, raut wajah yang ditunjukkannya pun juga biasa saja. Tak ada guratan rasa gela sedikit pun kalau sepedanya hilang, kenangnya.

Termasuk, lanjutnya, setiap sepekan sekali hingga 2004 lalu, Haksu juga masih bersedia bolak-balik mengajar di UGM naik bus sejak tahun 1968. Dalam hidup sosial kemasyarakatan, kata Purwani, Haksu juga dikenal merakyat dan tak pernah keberatan dijadikan tempat curahan hati maupun kegalauan warga sekitar. Makanya, puluhan tahun Haksu masih jadi ketua RW,ungkapnya.


sumber : disini

Please write a comment after you read this article. Thx..!!
READ MORE - Xs. Tjhie Tjay Ing - Pejuang Eksistensi Konghucu