Font Re-Size
Episode 64. Di Negeri Wee
Di Negeri Wee, Nabi diam di rumah Gan Tokcoo, kakak ipar Cu Lo. Raja muda Negeri Wee, Wee Ling Kong, bertanya berapa banyak Nabi Khongcu mendapat gaji di Negeri Lo. Ketika mendapat keterangan, bahwa beliau diberi 6.000 takar beras, maka ia pun memberi Nabi sejumlah itu. Ia nampaknya kagum kepada Nabi dan ingin menariknya. Tetapi tatkala ada orang yang memfitnah dan memburuk-burukkan Nabi, ia pun memerintahkan Konsun I-ke mengamat-amati beliau.
Wee Ling Kong sebenarnya seorang yang cukup baik, tetapi ia sangat lemah, peragu dan tidak mempunyai ketetapan hati. Di dalam pemerintahan ia sangat dikuasai oleh Lamcu, seorang selir dari Negeri Song yang kemudian dijadikan permaisuri; dan sangat besar pengaruh Ong Sun-ke, seorang menteri yang sangat dikasihi karena pandai menjilat.
Kepada Nabi yang tidak mau dekat kepadanya, Ong Sun-ke pernah menyindir, “Apa maksud peribahasa, ‘Daripada bermuka-muka kepada Malaikat Oo (Malaikat ruang barat daya rumah) lebih baik bermuka-muka kepada Malaikat Co (Malaikat Dapur)’ itu?” Tetapi Nabi secara tegas bersabda, “Itu tidak benar. Siapa berbuat dosa kepada Tuhan YME, tiada tempat ia dapat meminta doa.” (Sabda Suci III: 13).
Karena hal-hal yang menjemukan itu, maka hanya 10 bulan Nabi tinggal di situ dan selanjutnya menuju ke Negeri Tien.
=================
Episode 65. Dikurung Orang Negeri Khong
Dalam perjalanan menuju Negeri Tien harus melewati Negeri Khong, sebuah negara kota yang pernah diporak-porandakan dan dijarah oleh Yang Ho, pemberontak Negeri Lo itu. Kata orang, tubuh dan wajah Nabi mirip Yang Ho, maka menimbulkan kecurigaan; lebih-lebih karena Gan Kik yang menyaisi kereta bercerita dan menunjuk-nunjuk dengan pecutnya tentang peristiwa itu; ia berkata, “Aku pernah menerobos tembok yang roboh itu.”
Orang-orang Negeri Khong yang mendengar itu dan salah sangka terhadap Nabi, lalu mengurung dan menahan beliau dan murid-murid sampai lima hari.
Nabi sangat khawatir akan nasib Gan Yan yang tertinggal di belakang; ketika ia datang Nabi bersabda, “Aku cemas engkau telah mati, Hwee.”
Gan Hwee menjawab, “Bagaimana Hwee berani mati sepanjang Guru masih hidup.” Gan Hwee adalah murid yang sangat maju, masih muda dan menjadi tumpuan harapan Gurunya. Sayang, ternyata kemudian telah meninggal dunia lebih dahu lu. Sudah tahukah Nabi bahwa Gan Yan kelak akan mendahuluinya?
=================
Episode 66. Nabi Menegaskan Perlindungan Tuhan Atas Tugas Sucinya
Orang-orang Negeri Khong sukar diberi penjelasan, mereka tetap mencurigai, penjagaan makin diperkeras, sehingga mengakibatkan banyak murid-murid cemas.
Untuk menenteramkan keadaan dan memantapkan Iman para murid, Nabi dengan tenang mengungkapkan tugas suci yang difirmankan Tuhan atas diriNya. Beliau bersabda:
“Sepeninggal Raja Bun (Nabi Ki Chiang), bukankah Kitab-Kitabnya Aku yang mewarisi? Bila Tuhan Yang Maha Esa hendak memusnahkan Kitab-Kitab itu, Aku sebagai orang yang lebih kemudian, tidak akan memperolehnya. Bila Tuhan tidak hendak memusnahkan Kitab-Kitab itu, apa yang dapat dilakukan orang-orang Negeri Khong atas diriKu?” (Sabda Suci IX: 5).
Karena keadaan makin menggenting, Cu Lo akan melawan dengan kekerasan; Nabi bersabda, “Bagaimana orang yang hendak menggemilangkan Cinta Kasih dan Kebenaran dapat berbuat demikian?
Bila Aku tidak menerangkan tentang kesusilaan dan musik, itu kesalahanKu. Tetapi, bila A ku sudah mengabarkan akan ajaran raja-raja suci purba dan mencintai yang kuno itu lalu tertimpa kemalangan, ini bukan kesalahanKu, melainkan Firman. Marilah menyanyi, Aku akan mengiringimu!!”
Cu Lo mengambil siternya lalu memetiknya sambil menyanyi bersama. Setelah mereka menyanyi tiga bait, orang-orang Negeri Khong sadar akan kesalahannya. Pemimpinnya maju menghadap Nabi memohon maaf dan selanjutnya membubarkan diri bahkan ada beberapa orang yang mohon menjadi murid Nabi.
=================
Episode 67. Nabi Penuh Perasaan Halus
Setelah lepas dari bahaya di Negeri Khong, Nabi tidak meneruskan perjalanan ke Negeri Tien, beliau kembali ke Negeri Wee.
Di tengah perjalanan, Nabi melewati sebuah rumah tempat beliau pernah mondok dan tuan rumah itu ternyata meninggal dunia. Ketika itu upacara pemakaman sedang dilangsungkan, maka Nabi singgah ke dalam menyampaikan bela sungkawa dan menangis. Tatkala keluar dari rumah itu, segera beliau menyuruh Cu Khong mengambil kuda dari kereta beliau untuk disumbangkan kepada keluarga duka itu. Cu Khong kaget dan berkata, “Guru tidak pernah melakukan tindakan semacam ini sekalipun pada waktu kematian salah seorang murid; bukankah ini terlalu besar untuk disumbangkan?” Nabi bersabda, “Tatkala Aku masuk, kehadiranku ternyata telah menyebabkan keluarga duka menangis keras dan ternyata aku pun ikut menitikkan air mata. Aku tidak suka bahwa titik air mataku tidak disertai sesuatu. Serahkanlah, anakku.”
Bila ada kawan yang meninggal dunia dan tidak mempunyai waris, Nabi bersabda, “Tugaskulah untuk menguburkannya.” (Sabda Suci X: 22).
Pada waktu Nabi di rumah keluarga yang sedang melakukan upacara duka, belum pernah makan kenyang-kenyang. Bila Nabi sampai menangis, hari itu Beliau tidak menyanyi. (Sabda Suci VII: 9, 10).
Pada waktu bertemu dengan orang yang berkabung, meski naik kereta, niscaya membongkokkan badan dan kedua tangan Nabi memegang palang kayu kereta. (Sabda Suci X: 25).
=================
Episode 68. Bertemu Lamcu
Di Negeri Wee, kali ini Nabi berdiam di rumah Ki Pik Giok, seorang menteri Negeri Wee yang berjiwa mulia yang sering dipuji Nabi. (Sabda Suci XIV: 25, XV: 7). Meski demikian, Nabi tidak berdiam lama di Negeri Wee.
Lamcu, permaisuri Raja muda Wee Ling Kong, adalah seorang yang ambisius, penuh intrik dan haus akan kekuasaan. Ketika mendengar Nabi datang di Negeri Wee ia mengirim utusan mengundang beliau dengan pesan, “Tiap Susilawan dari negeri lain yang datang melakukan kunjungan persahabatan dengan pangeran, pasti juga mengunjungi permaisurinya. Maka ia pun ingin bertemu Guru.” Mula-mula Nabi menolak, tetapi kemudian terpaksa menerima.
Lamcu menerima Nabi dari belakang tirai. Nabi naik ke ruang serambi menghadap Utara dan membongkokkan diri. Lamcu membalas membongkokkan diri dari balik tirai dan terdengar gemerincing hiasannya yang dibuat dari batu kumala.
“Aku sesungguhnya tidak mau menjumpainya,” sabda Nabi, “tetapi semuanya telah kulakukan menurut kesusilaan yang diadatkan.”
=================
Episode 69. Cu Lo Tidak Senang
Meski Nabi telah memberi penjelasan tentang pertemuan dengan Lamcu itu, Cu Lo yang cara berfikirnya sederhana, lugu dan selalu terus terang apa adanya itu, menunjukkan sikap dan wajah tidak senang karena
beranggapan hal ini merendahkan martabat Gurunya. Atas sikap Cu Lo itu menyebabkan Nabi mengucapkan sumpah, “Kalau aku berbuat tidak pada tempatnya, Tuhan Yang Maha Esa menghukumku! Tuhan Menghukumku!” (Sabda Suci VI: 28).
Di Negeri Wee ini, di satu pihak Nabi selalu diterima dengan hormat, tetapi sering menerima perlakuan yang tidak pantas. Hal itu mungkin bukan maksud Raja muda Wee Ling Kong, tetapi sifat pangeran yang lemah sering dimanfaatkan orang-orangnya yang tidak bertanggung jawab.
Suatu hari pangeran mengajak Nabi berkeliling ibukotanya; pangeran bersama Lamcu duduk di kereta depan diiringi kasimnya yang bernama Yong Ki dan Nabi naik kereta di belakangnya. Rakyat yang melihat peristiwa itu berteriak, “Nafsu di depan; Kebajikan di belakang!”
Nabi pun bersabda, “Aku belum pernah melihat seseorang yang mencintai Kebajikan seperti mencintai keelokan.” (Sabda Suci IX: 8).
Tidak heran Nabi tidak betah lama di Negeri Wee; beliau kembali meninggalkan Negeri Wee menuju ke Negeri Tien.
=================
Episode 70. Di Negeri Song
Perjalanan ke Negeri Tien kali ini melewati Negeri Coo dan selanjutnya masuk ke Negeri Song; negeri asal nenek moyang Nabi Khongcu.
Orang paling berkuasa waktu itu di Negeri Song adalah Suma Hwantwee; ia adalah seorang penguasa yang jahat dan sewenang-wenang.
Ketika Nabi dan murid-murid sampai di sana, Suma Hwantwee sedang mempekerja paksakan rakyatnya untuk membangun kuburan batu yang besar dan megah untuk persiapan kalau kelak ajalnya tiba, sudah tiga tahun pekerjaan itu dilaksanakan dan belum selesai juga. Banyak pekerja menjadi lemah dan sakit. Nabi sangat memprihatinkan dan menyesali perbuatan itu.
Jiamcu yang menyaisi kereta mohon penjelasan dengan bertanya, “Apakah maksud kalimat ‘Hendaknya orang tidak menyiapkan upacara perkabungan’ di dalam Kitab Kesusilaan itu?”
Nabi bersabda, “Setelah seseorang meninggal dunia, baharulah dirundingkan tentang pemakamannya. Setelah ditetapkan tempat dan harinya, baharulah dilaksanakan. Semuanya itu ialah tugas para pembantu dan putera-puteranya, bukan sesuatu yang boleh disiapkan sendiri.” (Ke Gi XLII).
=================
Episode 71. Tuhan Telah Menyalakan Kebajikannya
Di Negeri Song banyak anak-anak muda mohon diterima sebagai murid, bahkan Suma Giu adik Suma Hwantwee juga menjadi murid Nabi. Hal ini menjadikan Suma Hwantwee tidak senang; ajaran yang diberikan Nabi dianggap dapat membahayakan kedudukannya. Maka Hwantwee menyuruh orang-orangnya mengganggu pekerjaan Nabi, bahkan berusaha mencelakakannya.
Suatu hari tatkala Nabi memimpin murid-murid melakukan upacara dan ibadah, Hwantwee menyuruh orang-orangnya memotong dan merobohkan pohon besar di dekatnya.
Murid-murid melihat perbuatan orang-orang itu menjadi cemas dan ketakutan serta akan melarikan diri. Tetapi Nabi dengan tenang berkata kepada mereka, “Tuhan Yang Maha Esa telah menyalakan Kebajikan dalam diriKu. Apakah yang dapat dilakukan Hwantwee atasKu?” (Sabda Suci VII: 23).
Seorang Susilawan memuliakan tiga hal: memuliakan Firman Tuhan YME, memuliakan orang-orang besar dan memuliakan sabda para Nabi. Seorang rendah budi tidak mengenal dan tidak memuliakan Firman Tuhan, meremehkan orang-orang besar dan mempermainkan sabda para Nabi.” (Sabda Suci XVI: 8).
=================
Episode 72. Terlunta-lunta di Negeri Tin
Oleh ancaman dan gangguan yang terus-meneru s oleh Hwantwee, Nabi bersama murid-murid meninggalkan Negeri Song masuk ke Negeri Tin (The) yang terletak di sebelah barat Negeri Song. Dalam perjalanan kali ini pernah terjadi Nabi terpisah dari murid-muridnya. Cu Khong yang datang lebih dahulu mendapat keterangan dari seorang penduduk Negeri Tin bahwa ada seorang yang berdiri di dekat gerbang sebelah Timur.
Orang itu berkata, “Di gerbang Timur ada seorang yang dahinya menyerupai Raja Giau, lehernya menyerupai Nabi Koo Yau dan bahunya menyerupai Nabi Ki Chiang (Bun Ong), namun dari pinggang ke bawah tiga dim lebih pendek daripada I Agung. Ia berdiri seperti seekor anjing yang kehilangan rumahnya.”
Setelah bertemu Nabi, Cu Khong menceritakan pembicaraan orang itu. Nabi dengan tertawa berkata, “Tentang bentuk-bentuk tubuhku, itu tidak usah kita bicarakan. Tetapi bahwa katanya aku menyerupai seekor anjing yang kehilangan rumahnya; sungguh tepat, sungguh tepat.”
Sikap ini menunjukkan betapa Nabi dalam keadaan yang paling menderita pun tetap dapat bersikap ramah dan berjenaka.
=================
Episode 73. Di Negeri Tien
Sampai akhir tahun Nabi tetap berdiam di Negeri Tin (The) di rumah Susing Cingcu, perwira kepala penjaga tembok kota. Di sini beliau melewatkan waktu dengan mendidik murid-muridnya. Tahun berikutnya beliau masuk ke Negeri Tien yang kebetulan waktu itu sedang menderita kesengsaraan akibat serbuan Negeri Go.
Negeri Tien adalah negeri kecil yang terletak di antara Negeri Go dan Cho. Kedua negeri besar itu sering berperang memperebutkan daerah; akibatnya, negeri kecil yang terletak di antara kedua negeri itu seperti Tien dan Chai senantiasa menjadi korban pertama dan ajang pertempuran.
Di dalam jaman yang gelap ini, siapakah yang mau mendengar Kebajikan? Mereka hanya memu ja kekuatan dan kecerdikan dalam bertipu muslihat. Tetapi sungguh bahagialah mereka yang teguh beriman. “Hanya Kebajikan berkenan Tuhan. Tiada jarak tidak terjangkau. Kesombongan mengundang rugi, kerendahan hati menerima berkah. Demikianlah Jalan Suci Tuhan Yang Maha Esa sepanjang masa. Sungguh hanya satu saja: Kebajikan, yang berkenan di hati Tuhan. Bukan Tuhan memihak, hanya melindungi/melestarikan Yang Satu: Kebajikan.” (Su King).
=================
Episode 74. Anak Panah Bermata Batu
Setahun lebih Nabi tinggal di Negeri Tien. Suatu hari ada seekor burung jatuh mati terpanah di depan istana Negeri Tien. Anak panah itu panjangnya 18 inci dan bermata batu. Raja muda Tien Bien Kong mengirim utusan menanyakan hal itu kepada Nabi, dan beliau bersabda, “Burung itu pasti datang dari tempat jauh, burung itu terkena anak panah suku bangsa Sioksien (Churchen). Dahulu ketika Raja Bu berhasil menumbangkan Dinasti Siang dan mendirikan Dinasti Ciu, telah menjalin hubungan persahabatan dengan berbagai suku bangsa I dan Ban, dan mereka mengirimkan berbagai barang upeti hasil produksi daerah masing-masing. Orang-orang Sioksien telah mengirimkan anak panah semacam itu sebagai upeti. Untuk menunjukkan kebesaran dan kebajikannya, Raja Bu telah menghadiahkan anak panah itu sebagai emas kawin waktu anak puterinya yang terbesar menikah dengan
Pangeran Gi O Kong dan diangkat menjadi Raja muda Negeri Tien. Karena itu di tempat penyimpanan pusaka-pusaka kuno Negeri Tien terdapat pula panah semacam itu.”
Tien Bien Kong menyuruh orangnya memeriksa tempat penyimpanan pusaka kuno, ternyata benar terdapat panah semacam itu. Mereka begitu terheran-heran akan pengetahuan Nabi.
=================
Episode 75.Terhalang Di Kota Pho
Negeri Tien terus terganggu oleh serbuan-serbuan Negeri Cho, Cien dan Go; maka suatu hari Nabi bersabda, “Marilah pulang! Marilah pulang! Murid-muridku di sana masih banyak yang bercita-cita tinggi, berkemauan besar dan pandai dalam kesusasteraan; tetapi belum mengetahui bagaimana harus menyempurnakan dirinya.” (Sabda Suci V: 22). Begitulah beliau meninggalkan Negeri Tien menuju ke Negeri Wee pula.
Ketika melewati Kota Pho mereka terhalang karena di situ sedang terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kongsiok-si. Mereka ditahan dan tidak diperkenankan meneruskan perjalanan ke Negeri Wee.
Murid Nabi yang bernama Kongliang Ji, yang mengiringkan Gurunya dengan membawa lima kereta menjadi marah dan berkata, “Dahulu kita menderita kesukaran di Negeri Khong, dan kini mengalami kesukaran lagi, ini mungkin sudah difirmankan. Kini aku lebih baik binasa daripada ditangkap orang Pho.” Ia lalu siap melawan orang-orang Pho.
Melihat sikap itu orang-orang Negeri Pho menjadi gentar dan memberi jalan setelah diadakan perundingan. Nabi meneruskan perjalanan menuju Negeri Wee.
=================
Episode 76. Disambut Raja Muda Wee
Ketika Nabi dan murid-murid memasuki tapal batas Negeri Wee ternyata beliau disambut dengan meriah. Raja muda Wee Ling Kong begitu gembira mendengar kedatangan kembali Nabi, ia pribadi menyambut ke luar kota.
Meski demikian besar Wee Ling Kong menghormati Nabi, tetapi ia sudah terlalu tua dan lemah, kini ia jarang langsung menangani pemerintahan.
Suatu hari, Wee Ling Kong bertanya kepada Nabi apakah kaum pemberontak di Kota Pho itu harus dihukum. Nabi menjawab, bahwa mereka harus dihukum.
Mendengar jawaban Nabi itu, Wee Ling Kong berkata, “Menteri-menteriku tidak setuju menghukum pemberontak Kota Pho itu karena daerah itu adalah daerah penyangga terhadap Negeri Cien dan Cho. Tidakkah salah untuk menghukum mereka?”
Nabi bersabda, “Rakyat di sana telah siap untuk mati membela tanah airnya dan para wanitanya telah siap pula membela daerah Barang Sungai (See Ho). Yang harus dihukum itu hanya beberapa gelintir pemberontak saja.”
Wee Ling Kong memahami sabda itu tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa untuk menjaga keutuhan wilayahnya. Ia pun tidak memberi suatu jabatan kepada Nabi karena sudah terlalu malas dengan pemerintahan.
=================
Episode 77. Disindir
Suatu hari Nabi memainkan sebuah lagu dengan menabuhi lonceng batu (sejenis alat musik).
Saat itu ada seorang pertapa yang memanggul keranjang berjalan melewati rumah kediaman Nabi. Mendengar bunyi lagu itu ia menghentikan langkahnya dan berkata, “Alangkah sungguh-sungguh ia memukul lonceng batu itu!”
Sebentar kemudian ia berkata pula, “Alangkah piciknya orang yang memainkan lonceng batu itu. Seorang yang kepandaiannya tidak dimengerti dan diakui orang hendaklah mengundurkan diri. Bila dalam air sampai pinggang, orang boleh menyeberanginya tanpa membuka pakaiannya; bila air dangkal dapatlah orang menyingsingkan pakaiannya.”
Mendengar kata-kata itu, Nabi bersabda, “Sungguh tegas, tetapi itulah ketegasan yang paling mudah.”
Memang menghindarkan diri dari kewajiban dengan jalan mengasingkan diri, itulah cara yang paling mudah.
“Belajar dan selalu dilatih, tidakkah itu menyenangkan? Kawan-kawan datang dari tempat jauh, tidakkah itu membahagiakan? Dan sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesali; bukankah ini sikap Susilawan?” (Sabda Suci I: 1).
=================
Episode 78. Batal Menyeberangi Sungai Kuning
Tidak lama Nabi di Negeri Wee, datanglah surat undangan dari Negeri Cien yang terletak di seberang Barat Sungai Kuning. Maka Nabi dan murid-murid memutuskan berangkat ke sana mengunjungi Thio Kancu, perdana menteri Negeri Cien.
Ketika Nabi dan murid-murid sampai di tepi sungai tempat penyeberangan, beliau mendapat kabar bahwa Too Bing Tok dan Sun Hwa telah mati dibunuh. Nabi dengan memandang ke sungai menarik nafas bersabda, “Alangkah indahnya air ini, bergolak-golak mengalir sepanjang masa. Sayang, Khiu tidak dapat menyeberanginya, inilah Firman.” Mendengar kata-kata itu, Cu Khong maju bertanya, “Memberanikan bertanya, apa yang Guru maksudkan?” Nabi bersabda, “Too Bing Tok dan Sun Hwa adalah menteri-menteri bijaksana dari Negeri Cien. Sebelum Thio Kancu mendapatkan kekuasaan, ia mengandalkan kedua orang itu; tetapi kini ia telah membunuhnya. Aku mendengar, bila orang membunuh binatang yang sedang hamil atau anak-anaknya, kilien tidak mau datang ke tempat itu. Bila orang mengeringkan telaga dan sungai untuk mendapatkan seluruh ikan-ikannya, naga-naga tidak mau menetap di situ. Bila orang merusak sarang dan memecah telur burung-burung, burung Hong tidak mau terbang ke tempat itu. Apakah sebabnya? Kalau binatang saja dapat menyingkiri ketidakadilan, bagaimana manusia tidak mengetahuinya. Seorang Susilawan menghindarkan penderitaan sesamanya.”
Next Part Click HERE
Please write a comment after you read this article. Thx..!!
0 comments:
Post a Comment