Font Re-Size
Episode 104. Tripusaka
Hari lain, Raja muda Ai mohon bimbingan Nabi di dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Nabi bersabda, “Seorang Susilawan tidak boleh tidak membina diri; bila berhasrat membina diri, tidak boleh tidak mengabdi kepada orang tua; bila berhasrat mengabdi kepada orang tua, tidak boleh tidak mengenal manusia, dan bila berhasrat mengenal manusia, tidak boleh tidak mengenal Thian (Tuhan Yang Maha Esa).
Adapun Jalan Suci yang harus ditempuh di dunia ini mempunyai lima perkara dengan Tiga Pusaka di dalam menjalankannya. Yakni: hubungan raja dengan menteri, orang tua dengan anak, suami dengan isteri, kakak dengan adik dan kawan dengan sahabat. Lima Perkara inilah Jalan Suci yang harus ditempuh di dunia.
Kebijaksanaan, Cinta Kasih dan Berani; Tiga Pusaka inilah Kebajikan yang harus ditempuh. Maka yang hendak menjalani, haruslah Satu tekadnya.
Dengan Tripusaka itu, niscaya dapat memahami bagaimana membina diri; dengan diri yang terbina, niscaya dapat memahami bagaimana cara mengatur manusia; dan dengan kemampuan mengatur manusia, niscaya dapat pula memahami bagaimana mengatur dunia, negara, dan rumah tangga… (Tengah Sempurna XIX).
“Yang Bijaksana tidak dilamun bimbang. Yang berperi Cinta Kasih tidak merasakan susah payah. Dan yang Berani tidak dirundung ketakutan……… (Sabda Suci IX: 29).
=================
Episode 105. Gugur Sang Kilien
Pada musim semi tahun ke-14 Raja muda Ai memerintah (481 SM), raja muda itu menyelenggarakan perburuan besar di hutan Tai Ya. Co Siang tukang kereta Kepala Keluarga Siok-sun membunuh seekor hewan yang tidak dikenal. Hal ini dikhawatirkan akan membawa perlambang tidak baik, maka Raja muda Ai mengundang Nabi Khongcu melihat hewan hasil buruannya itu.
Menerima undangan itu, bergegaslah Nabi mengikuti utusan itu. Demi dilihatnya hewan yang terbunuh itu, dengan suara haru dan tangis beliau berseru, “……… itulah Kilien. Mengapa engkau menampakkan diri? Mengapa engkau menampakkan diri? Selesai pulalah kiranya perjalananku sekarang ini.”
Selanjutnya Nabi dengan penuh haru menyanyikan sebuah lagu “Pada jaman Tong Giau dan Gi Sun, muncul pesiar Kilien dan burung Hong. Kini bukan waktumu, apa yang hendak kaucari? Kilien, kilien, sungguh aku bersedih…….”
Nabi pun bersabda, “Ah, tiada orang yang mengerti akan diriKu.”
Mendengar itu Cu Khong bertanya, “Apakah maksud tiada orang yang mengerti akan Guru?”
Nabi bersabda, “Aku tidak menggerutu kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak pula menyesali manusia. Aku hanya belajar dari tempat yang rendah ini, terus maju menuju tinggi. THIA N. Tuhan Yang Maha Esalah mengerti diriKu.” (Sabda Suci XIV: 35).
=================
Episode 106. Tien Hing Membunuh Cee Kian Kong
Sedang Nabi dalam keadaan penuh prihatin itu, suatu hari mendapat laporan bahwa Tien Sing-cu atau Tien Hing, salah seorang kepala keluarga bangsawan Negeri Cee telah membunuh Raja muda Cee, Cee Kian Kong.
Mendengar itu Nabi segera mandi dan keramas lalu pergi ke istana memberi laporan kepada Raja muda Ai, “Tien Hing telah membunuh rajanya. Mohon baginda mengambil tindakan untuk menghukumnya.”
Raja muda Ai ternyata hanya menanggapi dengan berkata, “Beritahukanlah kepada ketiga Keluarga Besar itu.”
Setelah undur dari istana, Nabi dengan kecewa bersabda, “Karena Aku pernah menjadi menteri, maka tidak berani tidak memberi laporan, tetapi pangeran berkata supaya hal itu dilaporkan kepada ketiga Keluarga Besar itu.”
Meski demikian, beliau mematuhi melaporkan hal itu kepada kepala ketiga Keluarga Besar itu, tetap mereka tidak menyetuju i saranNya.
Nabi bersabda, “Aku pernah menjadi menteri, maka tidak berani tidak memberi laporan.”
Demikianlah hal-hal yang ingkar dari Jalan Suci merajalela, cahaya Kebajikan pudar, seruan Nabi seolah suara yang ditelan kebisingan dunia.
Siapakah mau mendengar?
=================
Episode 107. Cu Lo Gugur Di Negeri Wee
Tahun berikutnya, kembali Nabi menanggung peristiwa duka untuk sekian kalinya. Cu Lo murid yang jujur, sederhana dan gagah berani itu gugur dalam pertempuran melawan kaum pemberontak di Negeri Wee.
Kemelut di Negeri Wee ternyata memuncak karena berbagai pertentangan di istana. Ibunda Perdana Menteri Khong Khwee ternyata memihak adik kandungnya, yaitu putera mahkota Kwai Khwi. Diam-diam ia menyelundupkan putera mahkota ke Negeri Wee dan dengan suatu tipu muslihat Perdana Menteri Khong Khwee ditangkap dan dipaksa ibunya untuk mengakui kedaulatan Kwai Khwi atas takhta Negeri Wee dan memecat Raja muda Wee Chut Kong. Demikianlah Kwai Khwi berhasil merebut kekuasaan dari puteranya dan naik takhta Negeri Wee dengan bergelar Wee Cong Kong.
Ketika peristiwa perebutan kekuasaan ini terjadi dua orang murid Nabi yang memangku jabatan di Negeri Wee, yaitu Cu Lo atau Tiong Yu dan Koo Chai atau Cu Kau sedang bertugas di luar daerah.
Pada waktu mereka datang, ibukota telah dikuasai kaum pemberontak. Koo Chai yang melihat keadaan sudah tidak dapat ditolong, langsung meninggalkan Negeri Wee menuju ke Negeri Lo untuk kembali kepada Gurunya. Sebaliknya, Cu Lo yang berprinsip, betapa pun ia berkewajiban membela dan membebaskan Perdana Menteri Khong Khwee, tanpa menghiraukan keadaan dan keselamatan dirinya menyerbu ke ibukota. Cu Lo gugur demi kesadaran akan kewajibannya; sebelum gugur dikeroyok kaum pemberontak, ia membetulkan letak topinya yang lepas dan berseru kepada Nabi, “Guru, seorang pria Susilawan tidak akan lepas dari topinya.” Demikianlah Cu Lo; diterimalah arwahnya di haribaan Kebajikan Tuhan Yang Maha Gemilang.
=================
Episode 108. Harapan Kepada Generasi Penerus
Khong Khiep alias Cu Su ialah cucu Nabi, putera Li. Pada waktu Li meninggal dunia, Cu Su masih kanak-kanak, dan selanjutnya diasuh neneknya, dan menerima bimbingan dan pendidikan langsung dari Nabi.
Suatu hari Cu Su mendengar kakeknya menarik nafas dalam seorang diri; ia lalu menghadap dan dua kali membongkokkan diri lalu menanyakan akan kesedihannya, “Adakah kakek berprihatin kalau-kalau cucu tidak sungguh-sungguh membina diri sehingga tidak berharga? Ataukah karena kakek mengagumi Jalan Suci Giau dan Sun sehingga khawatir cucu tidak dapat seperti mereka?”
Nabi menjawab, “O, bagaimana engkau tahu akan fikiranku?”
“Cucu sering mendengar dari ajaran kakek bahwa bila seorang ayah telah mengumpulkan dan menyiapkan kayu bakar dan anaknya tidak dapat mengangkutnya, ia dinamai orang yang merosot dan tidak berharga. Ajaran itu sangat berkesan ke dalam hati dan menimbulkan kecemasan.”
Nabi sangat gembira dan berkata, “Kini, sungguh, aku tidak akan khawatir lagi. Harapanku tidak akan sia-sia, melainkan akan dapat terus dikembangkan.”
Nabi pu n bersabda, “Kita harus hormat kepada angkatan muda, siapa tahu mereka tidak seperti angkatan yang sekarang. Tetapi bila sudah berumur empat puluh, lima puluh, belum terdengar perbuatannya yang baik, bolehlah dinilai memang tidak cukup syarat untuk dihormati.” (Sabda Suci IX: 24).
=================
Episode 109. Dipersembahkan Dan Dimohonkan Berkat Thian
Suatu hari Cu He melapor, di luar gerbang Lo Twan ada sorot cahaya merah dan daripadanya nampak tulisan berbunyi, “Segera bersiaplah, sudah tiba waktunya Nabi Khongcu, Dinasti Ciu akan musnah, bintang sapu akan muncul, Kerajaan Chien akan bangkit dan terjadilah huru-hara. Kitab-kitab Suci akan dimusnahkan, tetapi AjaranMu tidak akan terputuskan.”
Setelah melihat sendiri kejadian itu, maka disiapkan suatu altar untuk upacara sembahyang dan diletakkan Kitab-Kitab Suci yang telah beliau susun itu di atas meja sembahyang.
Dikumpulkan semua murid-murid. Nabi memimpin mereka bersama menghadap ke arah Bintang Utara melakukan sembahyang dan membongkokkan diri tiga kali. Nabi lalu mengacungkan pena yang lebih dahulu telah dicelupkan ke dalam tinta merah ke arah Bintang Utara, serta bersabda, “Kini telah cukup Khiu menjalankan Firman THIAN bagi manusia, Khiu pun telah menyelesaikan menyusun dan membukukan Kitab-Kitab Suci ini. Bila telah tiba waktunya, Khiu telah bersedia kembali ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Setelah selesai Nabi bersabda, maka nampak awan gelap di sebelah Utara, yang tidak lama kemudian berubah menjadi halimun putih, dan setelah buyar halimun putih itu, tampaklah pelangi dengan kelima warnanya yang indah.
Sungguh di dalam Kebajikan Tuhan berkenan.
=================
Episode 110. Dua Tiang Merah
Kini kita tiba pada bagian akhir kehidupan Nabi. Suatu malam Nabi bermimpi duduk di dalam sebuah kuil di antara dua pilar merah. Impian ini meyakinkan beliau bahwa hari baiknya telah dekat.
Pagi itu beliau bangun dari tidur lalu dengan tangan menarik tongkat di belakang punggungnya berjalan kian kemari di halaman depan rumah; terdengar beliau menyanyi, “Gunung Thai-san runtuh, balok-balok
patah dan selesailah riwayat Sang Budiman.”
Saat itu kebetulan Cu Khong menjenguk Nabi dan mendengar nyanyian itu, ia lalu menyambut dengan nyanyian, “Bila Thai-san runtuh, apakah yang boleh kulihat? Bila balok-balok patah, di mana tempatku berpegang? Bila Sang Budiman gugur, siapakah sandaranku?”
Nabi segera memanggil Cu Khong dan bertanya, mengapa ia demikian terlambat datang. Sudah lama Cu Khong tidak berjumpa dengan Nabi karena menjalankan tugas di tempat yang jauh.
Nabi mengajaknya masuk dan setelah itu Cu Khong mohon penjelasan mengapa Nabi menyanyi demikian itu. Nabi menjawab, “Semalam Aku beroleh penglihatan, duduk di dalam sebuah kuil di antara dua pilar merah. Ini mungkin karena Aku keturunan Dinasti Siang/Ien. (Seorang keturunan dinasti Siang bila meninggal dunia, peti jenazahnya
disemayamkan di antara dua pilar rumahnya.) Tidak ada raja suci datang, siapa mau mendengar AjaranKu? Sudah saatnya Aku meninggalkan dunia ini.”
=================
Episode 111. Berpulanglah Nabi Ke Haribaan Tuhan Khalik Yang Mengutusnya
Sejak kejadian pagi itu, Nabi tidak lagi keluar dari ruangan, dan tujuh hari kemudian beliau wafat (18 Ji Gwee 479 SM). Ketika itu telah banyak murid-murid berkumpul dan berjaga.
Dengan dipimpin Cu Khong mereka menyiapkan pemakaman Guru yang dihormat dan dikasihi itu. Ditetapkan hari dan tempat pemakaman. Upacara pemakaman diselenggarakan dengan suasana hening, khidmat dan sederhana.
Dalam upacara pemakaman, Raja muda Ai telah memerlukan hadir dan membacakan surat doa yang antara lain berbunyi, “O, Bien Thian, Tuhan Yang Maha Pengasih, sungguh tidak menaruh belas kasihan kepadaku, mengapakah tidak merakhmatkan Bapak Tua ini mendampingiku? Aku ditinggalkan seorang diri di dunia, O Ho, Ai Cai. O, Bapak Ni, kepada siapa aku mohon petunjuk?”
Mendengar surat doa Raja muda A i itu, Cu Khong menjadi kurang senang dan berkata, “Adakah Guru kita ini meninggal dunia di tanah asing? Guru pernah bersabda, ‘Kehilangan Susila adalah gelap/tolol, salah menggunakan gelar adalah tidak benar. Meninggalkan prinsip adalah tolol, melupakan kedudukan adalah tidak benar. Tidak
memanfaatkan waktu hidupnya, tetapi meratapi saat meninggal dunianya adalah bertentangan dengan Kesusilaan, menyebutkan diri sebagai yang seorang diri (= sebutan untuk kaisar) tidak tepat bagi seorang raja muda.”
Meski demikian, kiranya Raja muda Ai telah sungguh-sungguh mengungkapkan perasaan hatinya dengan jujur.
=================
Episode 112. Makam Nabi Khongcu
Nabi Khongcu dimakamkan di dekat Sungai Su Swi, sebelah utara ibukota Negeri Lo; murid-murid melakukan perkabungan besar selama tiga tahun (seperti kematian orang tua sendiri). Setelah usai masa berkabung mereka saling mengucapkan selamat berpisah dan kembali ke tempat masing-masing; mereka menangis di hadapan makam sebelum meninggalkan tempat itu. Sebagian dari murid-murid ada yang tetap tinggal di daerah itu, hanya Cu Khong yang masih tinggal dalam sebuah pondok dekat makam sampai enam tahun baharu pergi.
Lebih dari seratus keluarga, terdiri atas murid-murid Nabi dan orang-orang Negeri Lo bermukim di daerah makam itu; dan tempat itu berubah menjadi sebuah desa yang dinamai Khongli atau Kampung Nabi Khongcu.
Di sekitar makam itu, banyak murid menanam pohon Kai seperti yang pernah dilakukan Nabi. Banyak di antara pohon itu tetap hidup subur dan berdiri megah sampai saat ini.
Ditulis sebuah sanjak:
Kesusilaan dan musik dari Hing Than (nama ruang tempat Nabi mengajar)
memahkotai semua bangsa,
Ayat-ayat Kitab Suci dari Su Swi memancar gemerlap bagai matahari dan bulan.
Demikianlah Ji Kau atau kemudian disebut A gama Khonghucu bangkit berkembang kembali menjadi Genta Rokhani Tuhan Yang Maha Esa membimbing insan menegakkan Firman menempuh Jalan Suci dan menggemilangkan Kebajikan.
=================
Episode 113. Tanda Peringatan Yang Abadi
Di dekat makam itu atas prakarsa Raja muda Lo Ai Kong telah didirikan sebuah kuil atau bio untuk menghormati Nabi Khongcu; diselenggarakan upacara sembahyang pada empat musim untuk memperingati beliau; di situ diselenggarakan ibadah, kothbah, dan diskusi untuk mendalami Ajaran Agama.
Kompleks makam itu ada seratus bao luasnya, maka gedung-gedungnya cukup untuk menampung seluruh murid dan para pengikut Nabi.
Benda-benda pusaka warisan Nabi, seperti topi, jubah, alat musik, kereta dan Kitab-Kitab disimpan lestari turun temurun di situ.
Kaisar pertama Dinasti Han ketika berkunjung ke Negeri Lo telah melakukan sembahyang dan penghormatan di situ. Ia telah mewajibkan tiap bangsawan dan pejabat melakukan sembahyang dan bersumpah di hadapan altar Nabi sebelum memangku jabatan.
Berbagai gelar diberikan oleh para kaisar sepanjang jaman; Kaisar Ciu King Ong memberikan gelar Ni Hu (Bapak Ni), raja-raja Dinasti Han memberikan gelar Sing Swan Ni Hu (Bapak Ni Penebar Agama Yang Sempurna), tahun 492 gelar itu diubah menjadi Bun Sing Ni Hu (Bapak Ni Nabi Yang Mewariskan Kitab Suci); dan kini gelar yang paling umum ialah Ci Sing Sian Su atau Nabi Agung Guru Purba Khonghucu. Akan berbagai gelar ini, hendaknya kita beriman bahwa sesungguhnya bukan gelar yang diharapkan Nabi, melainkan beliau menghendaki kita mampu membina diri menempuh Jalan Suci.
Siancai.
Please write a comment after you read this article. Thx..!!
0 comments:
Post a Comment